Ragam Budaya Madura



MAKALAH
RAGAM BUDAYA MADURA
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Pengganti Ospek Omputra Night In Slopeng Mahasiswa Baru 2016







                                                                                      



 Oleh:
Agustin Suwignyo Putri
NIM : 160611100035



UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
2016


BAB I
PENDAHULUAN

1.1.  Latar Belakang
          Budaya adalah suatu warisan dari leluhur atau nenek moyang kita yang tidak ternilai harganya. Berbicara mengenai ragam budaya Indonesia memang sangatlah banyak, mulai dari sabang sampai merauke. Indonesia adalah negara yang sangat kaya dan unik dengan beragam suku bangsanya, sebagaimana tersirat dalam Bhinika Tunggal Ika. Kebudayaan lama atau yang sering disebut kebudayaan asli bangsa Indonesia, dimana kebudayaan ini belum terjamah oleh kebudayaan asing, harus tetap kita pertahankan karena ini merupakan suatu kebanggaan dan kekayaan bangsa.
Dari sekian banyak budaya yang ada di Indonesia salah satunya adalah kebudayaan Madura. Pulau yang terletak di sebelah timur laut Jawa  ini memiliki kebudayaan yang menarik. Banyak yang berpendapat masyarakat Madura itu unik, estetis, dan agamis. Dapat dibuktikan dari banyaknya masjid-masjid megah berdiri di Madura, namun ada pula seglintir masyarakat yang masih mempercayai kekuatan magis dengan melakukan berbagai macam ritual. Salah satu bentuk kepercayaan terhadap hal yang berbau magis seperti mengkramatkan benda pusaka dan melakukan ritual Pethik Laut atau Rokat Tasse.
Untuk bahasa, masyarakat Madura memiliki bahasa daerahnya sendiri. Bahasa Madura hampir mirip dengan bahasa-bahasa daerah lain di Indonesia, hal ini dikarenakan bahasa Madura banyak terpengaruh oleh bahasa Jawa, Melayu, Bugis, dan Tionghoa. Pengaruh bahasa Jawa sangat terasa dalam bentuk sistem hierarki berbahasa sebagai akibat pendudukan Kerajaan Mataram atas Pulau Madura pada masa lampau. Di Madura sendiri terdapat beberapa dialek seperti dialek Bangkalan, Sumenep, Sampang, Pamekasan, dan Kangean. Madura juga memiliki berbagai kesenian tradisional yang menarik seperti karapan sapi, topeng, keris, batik, celurit, kleles, tuk tuk, dan lain sebagainya.
1.2.  Permasalahan
1.2.1.      Identifikasi Masalah     
Berdasarkan latar belakang yang tertuang dalam bahasan 1.1 dimungkinkan muncul permasalahan seputar karakter masyarakat Madura, bahasa yang digunakan oleh masyarakat Madura, budaya-budaya tradisional yang terdapat di Madura.
1.2.2.      Pembatasan Masalah
Mengingat terbatasnya jangkauan litelatur, waktu, dan tenaga, perlu dilakukan pembatasan masalah. Berdasarkan identifikasi masalah diatas, penulis hanya mengambil beberapa permasalahan saja. Diharapkan pernyataan yang belum terjawab dapat menjadi dorongan bagi penulis selanjutnya.
1.2.3.      Perumusan Masalah
Sesuai  dengan latar belakang masalah diatas,  maka rumusan  masalah yang   dikemukakan   dalam  makalah ini  adalah   sebagai berikut :
1.    Bagaimana karakter masyarakat Madura?
2.    Bahasa apakah yang digunakan oleh masyarakat Madura?
3.    Keanekaragaman budaya tradisional apa saja yang terdapat di Madura?
1.3.  Tujuan
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis dapat menentukan tujuan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Untuk mengetahui karakter masyarakat Madura.
2.      Untuk mengetahui bahasa yang digunakan oleh masyarakat Madura
3.      Untuk mengetahui keanekaragaman budaya tradisional yang dimiliki Madura.
1.4. Manfaat
1.               Manfaat Teoritis : Memberikan pengetahuan dan penjelasan kepada pembaca tentang bahasa yang digunakan oleh masyarakat Madura, budaya-budaya tradisional yang terdapat di Madura, mengetahui karakter masyarakat Madura.
2.   Manfaat Praktis.
a)       Bagi masyarakat, sebagai pengetahuan kepada masyarakat tentang bahasa yang digunakan oleh masyarakat Madura, budaya-budaya tradisional yang terdapat di Madura, mengetahui karakter masyarakat Madura.
b)      Bagi kalangan akademisi, sebagai penambahan referensi atau pengetahuan-pengetahuan tentang bahasa yang digunakan oleh masyarakat Madura, budaya-budaya tradisional yang terdapat di Madura, mengetahui karakter masyarakat Madura.



   
BAB II
PEMBAHASAN

2.1.  Identitas Madura
2.1.1        Pengertian Identitas
Secara epistimologi, kata identitas berasal dari kata identity, yang berarti (1) kondisi atau kenyataan tentang sesuatu yang sama, suatu keadaan yang mirip satu sama lain; (2) kondisi atau fakta tentang sesuatu yang sama diantara dua orang atau dua benda; (3) kondisi atau fakta yang menggambarkan sesuatu yang sama diantara dua orang (individualitas) atau dua kelompok atau benda; (4) Pada tataran teknis, pengertian epistimologi diatas hanya sekedar menunjukkan tentang suatu kebiasaan untuk memahami identitas dengan kata “identik”, misalnya menyatakan bahwa “sesuatu” itu mirip satu dengan yang lain.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa Identitas adalah simbolisasi ciri khas yang mengandung diferensiasi dan mewakili citra organisasi. Identitas dapat berasal dari sejarah, filosofi atau visi atau cita-cita, misi atau fungsi, tujuan, strategi atau program. Unsur umum identitas antara lain adalah: (1) Nama, logo, slogan dan maskot, (2) Sistem grafis dan elemen visual yang standar: warna, gambar, bentuk huruf dan tata letak. (3) Aplikasi pada media resmi (official) dan media komunikasi, publikasi dan promosi (komersial).
Identitas dibagi menjadi tiga bentuk yaitu: identitas budaya, identitas sosial, dan identitas diri atau pribadi.
1.    Identitas Budaya
Identitas budaya merupakan ciri yang muncul karena seseorang itu merupakan anggota dari sebuah kelompok etnik tertentu, itu meliputi pembelajaran tentang dan penerimaan tradisi, sifat bawaan, bahasa, agama, dan keturunan dari suatu kebudayaan.
2.                   Identitas Sosial
Pengertian identitas harus berdasarkan pada pemahaman tindakan manusia dalam konteks sosialnya. Identitas sosial adalah persamaan dan perbedaan, soal personal dan sosial, soal apa yang kamu miliki secara bersama-sama dengan beberapa orang dan apa yang membedakanmu dengan orang lain. Ketika kita membicarakan identitas di situ juga kita membicarakan kelompok.
 Kelompok sosial adalah suatu sistem sosial yang terdiri dari sejumlah orang yang berinteraksi satu sama lain dan terlibat dalam satu kegiatan bersama atau sejumlah orang yang mengadakan hubungan tatap muka secara berkala karena mempunyai tujuan dan sikap bersama.
Tindakan-tindakan yang dilakukan disesuaikan dengan kedudukan (status) dan peranan (role) masing-masing dan antara orang-orang itu terdapat rasa ketergantungan satu sama lain.
Berdasarkan pengertian tersebut kelompok sosial dapat dibagi menjadi beberapa, antara lain: Kelompok Primer adalah kelompok yang didalamnya terjadi interaksi sosial yang anggotanya saling mengenal dekat dan berhubungan erat dalam kehidupan.
 Identitas sosial secara umum dipandang sebagai analisa tentang hubungan-hubungan antar kategori sosial dalam skala besar selain itu identitas sosial juga diartikan sebagai proses pembentukan konsepsi kognitif kelompok sosial dan anggota kelompok.
Lebih sederhana lagi identitas sosial adalah kesadaran diri secara khusus diberikan kepada hubungan anatar kelompok dan hubungan antar individu dalam kelompok.
Pembentukan kognitif sosial banyak dipengaruhi oleh pertemuan antara anggota individu dalam kelompok, orientasi peran individu dan partsipasi individu dalam kelompok sosial.
3.    Identitas Diri
Identitas umumnya dimengerti sebagai suatu kesadaran akan kesatuan dan kesinambungan pribadi, suatu kesatuan unik yang memelihara kesinambungan arti masa lampaunya sendiri bagi diri sendiri dan orang lain.
Kesatuan dan kesinambungan yang mengintegrasikan semua gambaran diri, baik yang diterima dari orang lain maupun yang diimajinasikan sendiri tentang apa dan siapa dirinya serta apa yang dapat dibuatnya dalam hubungan dengan diri sendiri dan orang lain.
 Identitas diri seseorang juga dapat dipahami sebagai keseluruhan ciri-ciri fisik, disposisi yang dianut dan diyakininya serta daya-daya kemampuan yang dimilikinya. Kesemuanya merupakan kekhasan yang membedakan orang tersebut dari orang lain dan sekaligus merupakan integrasi tahap-tahap perkembangan yang telah dilalui sebelumnya.
Identitas personal didasarkan pada keunikan karakteristik pribadi seseorang. Perikalu budaya, suara, gerak-gerik anggota tubuh, warna pakaian, dan guntingan rambut menunjukkan ciri khas seseorang yang tidak dimiliki seseorang.
2.1.2        Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Identitas
2.1.2.1.                                                                Terbentuknya Identitas
Secara teoritis pembentukan identitas merupakan pemberian makna dari (self-meaning) yang ditampilkan dalam relasi antarmanusia. Identitas budaya dikembangkan melalui proses yang meliputi beberapa tahap antara lain:
1.        Identitaas Budaya Yang Tak Disengaja
Pada tahap ini, identitas budaya terbentuk secara tidak disengaja atau tidak disadari. Individu terpengaruh oleh tampilan budaya dominan hanya karena individu merasa budaya milik individu kurang akomodatif, lalu individu tersebut ikut-ikutan membentuk identitas baru.
2.        Pencarian Identitas Budaya
Pencarian identitas budaya meliputi sebuah proses penjajakan, bertanya, dan uji coba atas sebuah identitas lain. Agak berbeda dengan identitas yang diwariskan dan dipelajari oleh generasi berikutnya secara tanpa sadar, cultural identity search membutuhkan proses pencarian identitas budaya, pelacakan, dan pembelajaran budaya.
3.    Identitas Budaya Yang Diperoleh
Yang selanjutnya adalah cultural identity achievement, yaitu sebuah identitas yang dicirikan oleh kejelasan dan keyakinan terhadap penerimaan diri individu melalui internalisasi kebudayaan sehingga budaya tersebut membentuk identitas individu.
4.    Konformasi: Internalisasi
Proses pemenntukan identitas dapat diperoleh melalui internalisasi yang membentuk konformasi. Jadi proses internalisasi berfungsi untuk membuat norma-norma yang individu miliki menjadi sama (konformasi) dengan norma-norma yang dominan, atau membuat norma yang individu miliki berasimilasi kedalam kultur dominan. Ditahap inilah makin banyak orang melihat dirinya melalui lensa dari kultur dominan dam bukan dari kultur asal.
5.    Resistensi dan Separatisme
Resistensi dan separatisme adalah pembentukan identitas sebuah kultur dari sebuah komunitas tertentu (yang kadang-kadang merupakan komunitas minoritas dari sebuah suku bangsa, etnik, bahkan agama) sebagai suatu komunitas yang berperilaku eksklusif untuk menolak norma-norma kultur dominan.
6.    Integrasi
Pembentukan identitas dapat dilakukan melalui integrasi budaya, dimana seseorang atau sekelompok orang mengembangkan identitas baru yang merupakan hasil dari integrasi pelbagai budaya dari komunikasi atau masyarakat asal.
2.1.2.2.                                                                Perubahan Kebudayaan
Dalam membahas perubahan suatu kebudayaan, beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menurut Sugeng Pujileksono yakni:
1.    Diferensiasi
Suatu kolektivitas atau kelompok terbagi atas dua struktur, suatu proses pembagian dua. Suatu contoh adalah pemisahan antara pabrik dan rumah tangga selama masa revolusi industri. Dalam sistim domestik produksi tekstilterjadi dalam rumah tangga dan dilakukan oleh anggota keluarga, tetapi systim industri memindahkan pekerjaan ini ke dalam pabrik.
Kini industri, biasanya laki-laki, termasuk dalam dua kolektivitas, yakni kolektivitas kerabat dan organisasiproduksi. Jika diferensiasi benar-benar bersifat evulusioner, maka diferensiasi harus menghasilkan perbaikan adaptif.
2.    Perbaikan Adaptif.
Masyarakat menjalankan kontrol yang lebih besar atas lingkungannya karena setap kolektivitas dapat berfungsi lebih baik daripada sebelum diferensiasi itu terjadi.
3.    Integrasi
Seseorang atau sekelompok orang mengembangkan identitas baru yang merupakan hasil dari integrasi pelbagai budaya dari komunikasi atau masyarakat asal
4.    Generalisasi
Menggabungkan apa yang di konsepsikan Durkheim sebagai pertumbuhan solidaritas organik. Struktur baru yang memisahkan dari matriks yang terorganisasi secara lebih difus dibawa dalam makna sistem nilai masyarakat dan membuatnya abash. Nilai-nilai tersebut diterapkan pada kolektivitas baru, yang ditafsirkan sebagai spesifikasi dari nilai-nilai tersebut. Oleh sebab itu nilai-nilai tersebut disebut lebih abstrak dan umum.
5.    Penemuan Baru (Invention).
Mengacu pada penemuan cara kerja, alat atau prinsip baru oleh seorang individu yang kemudian diterima oleh orang-orang lain dan dengan demikian menjadi milik masyarakat.
6.    Difusi Kebudayaan.
Difusi Kebudayaan adalah penyebaran adat atau kebiasaan diri kebudayaan dari kebudayaan yang satu ke kebudayaan yang lain. Proses difusi kebudayaan dikarenakan oleh beberapa sebab, diantaranya adalah proses migrasi oleh kelompok-kelompok manusia, adanya individu- individu yang membawa unsure-unsur kebudayaan kedalam masyarakat serta adanya pertemuan antara individu-individu dalam suatu kelompok manusia.
7.    HilangnyaUnsur Kebudayaan.
Sebagai akibat dari adanya penemuan baru dan proses akulturasi budaya. Akulturasi berbaga inovasi menyebabkan adanya penambahan unsure-unsur baru pada unsure-unsur yang lama atau ada juga unsure yang lama hilang tidak tergantikan.
8.    Akulturasi.
Akulturasi budaya terjadi apabila terdapat pertemuan individu-individu dari kelompok budaya yang berbeda dan saling berhubungan secara intensif, sehingga menimbulkan perubahan-perubahan besar pada pola kebudayaan dari salah satu atau kedua kebudayaan yang bersangkutan.
9.    Perubahan Secara Paksa.
Bentuk-bentuk perubahan kebudayaan secara paksa adalah kolonialisme dan penaklikan; pemberontakan dan revolusi. Kolonialisme dan penaklukan biasanya ditandai oleh kemenangan militer Negara penjajah/penaklukan dan pemindahtanganan kekuasaan politik tradisional ketangan colonial atau penakluk.
Sedangkan pemberontakan dan revolusi muncul karena kondisi-kondisi yang dianggap kurang menguntungkan bagi sebagian masyarakat, kondisi yang dimaksut bias berupa ketidakadilan dalam distribusai (kekayaan atau material dan kekuasaan), munculnya perasaan benci pada kelompok yang dianggap sebagai penindas dan hilangnya kepercayaan penguasa.
10.     Modernisasi
odernitas adalah sebuah proses kebudayaan dari tradisional menuju modern, modernitas merupakan perubahan ciltural dan sosio-ekonomis dimana masyarakat-masyarakat sedang berkembang memperoleh sebagian karakteristik dari masyarakat industry barat.
2.1.3        Karakter Masyarakat Madura
Budaya Madura dilihat dari sejarah dan perkembangannya dengan kebudayaan jawa telah memiliki pertalian erat dari berbagai unsur kebudayaan dan oleh karena itu budaya Madura banyak dipengaruhi oleh kebudayaan jawa. Disisi lain, masyarakat Madura dipandang dengan konotasi negatif karena mempunyai karakteristik yang keras, misalnya: fanatik, cepat marah, dan masih memiliki kecurigaan yang tinggi.
 Hal tersebut sangat beralasan, karena masyarakat Madura sangat dipengaruhi oleh kondisi alam yang kurang menguntungkan secara geografis, metode berfikir, dan jenis pekerjaannya yang lebih banyak mengutamakan fisik. Sehingga masyarakat Madura yang masih dilingkupi oleh faktor-faktor tersebut mempunyai kecenderungan berkarakter keras.
Ada sebuah semboyan dalam masyarakat Madura yang memiliki karakter keras yaitu: “lebih baik putih mata, daripada putih tulang” artinya lebih baik mati dari pada menanggung rasa malu. Namun, pada sisi lain banyak sifat-sifat positif yang dipunyai orang Madura, yaitu: suka bekerja keras, ulet, pemberani, dan mempunyai solidaritas yang tinggi.
Pulau Madura terletak disebelah timur laut pulau Jawa, pada titik 7° garis Lintang Utara / 112° - 114° Bujur Timur. Panjang pulau Madura kurang lebih 190 km. luas seluruhnya ± 5.305 km², dan banyak pulau kecil di sekitarnya. Pulau Madura sebelah selatan berbatasan dengan selat Madura, sebelah barat dengan selat Madura, sebelah utara di batasi dengan laut Jawa dan sebelah timur dibatasi oleh laut Makasar dan Bali.
Sebagian besar penduduk Madura masih tinggal di daerah pedesaan yang bermata pencaharian sebagai petani, sedangkan penduduk yang berada di daerah pesisir umumnya mempunyai mata pencaharian sebagai nelayan.
Walaupun pulau Madura dikenal dengan daerah yang kering dan tandus, tetapi memiliki tingkat populasi yang cukup tinggi. Kerasnya keadaan alam tersebut dapat diimbangi dengan kerja keras dan solidaritas kerja yang tinggi antar sesama. Salah satu daerah yang ada di Madura yaitu Bangkalan. Kabupaten Bangkalan terletak pada ketinggian 2,49 meter diatas permukaan laut, dua per tiga bagian daratan terdiri dari pegunungan dan perbukitan.
Sehingga di Bangkalan yang sebagian besar lahan pertanian khususnya tanaman pangan adalah lahan kering yang digunakan sebagai daerah sentra palawija, sedangkan daerah sentra produksi padi umumnya di daerah pesisir seper ti kecamatan modung, kwanyar, kamal dan socah. Hasil tanaman yang utama adalah jagung dan padi dan dipergunakan untuk konsumsi rumah tangga sendiri, sedangkan hasil tanaman lainnya dijual.
Selain itu masyarakat Madura umumnya dan Bangkalan khususnya dalam menghadapi tantangan alam yang sedemikian, mereka mempunyai alternatif lain dengan cara mencari penghidupan diluar pertanian, perdagangan, dan nelayan yaitu dengan migrasi ke pulau lain.
Pola pikir masyarakat Madura dalam pembentukan watak, perasaan dan pemikiran sangat dipengaruhi oleh proses sosialisasi dalam kehidupan di lingkungannya. Dalam budaya Madura rasa hormat dan patuh pada orang yang lebih tua lebih di tonjolkan. Kondisi sosio kultural masyarakat Madura yang terungkap dalam filosofinya, bupa, babu, guru, rato.
alam budaya orang Madura, filosofi tersebut merupakan bentuk penghormatan yang harus diberikan kepada kedua orang tua atau “bupa’, dan babu”, dan juga kepada “guru” dan ‘rato’. ‘Guru’yang dimaksud umumnya para kyai dan alim ulama yang mengajarkan tentang ilmu pengetahuan agama, keimanan, dan ketaqwaan. Sementara “rato” adalah penguassa pemerintahan.
Dalam kehidupan masyarakat Madura yang dilakukan lebih banyak pada penyesuaian pandangan agama dan adapt. Seperti perhitungan waktu berdasarkan bintang untuk kepentingan pertanian dan palayaran. Dan untuk mengadakan hajatan atau upacara saat masih dilakukan dengan mencari waktu yang baik. Sikap hidup falsafah dan pola pikir membuahkan kegiatan-kegiatan budaya yang akhirnya menjadi tradisi dalam proses sosialisasi kehidupan. Setiap orang dalam masyarakat yang mengalami perubahan fundamental dalam hidupnya biasanya dan lazim mengadakan upacara selamatan agar perubahan itu mendapatkan keberkahan.
2.2.                                               Bahasa Masyarakat Madura
Bahasa Madura adalah bahasa yang digunakan Suku Madura. Bahasa Madura mempunyai penutur kurang lebih 14 juta orang, dan terpusat di Pulau Madura, Ujung Timur Pulau Jawa atau di kawasan yang disebut kawasan Tapal Kuda terbentang dari Pasuruan, Surabaya, Malang, sampai Banyuwangi, Kepulauan Masalembo, hingga Pulau Kalimantan. Bahasa Kangean, walau serumpun, dianggap bahasa tersendiri.
Di Pulau Kalimantan, masyarakat Madura terpusat di kawasan Sambas, Pontianak, Bengkayang dan Ketapang, Kalimantan Barat, sedangkan di Kalimantan Tengah mereka berkonsentrasi di daerah Kotawaringin Timur, Palangkaraya dan Kapuas. Namun kebanyakan generasi muda Madura di kawasan ini sudah hilang penguasaan terhadap bahasa ibu mereka.
2.2.1.      Kosakata Bahasa Madura
Bahasa Madura merupakan anak cabang dari bahasa Austronesia ranting Malayo-Polinesia, sehingga mempunyai kesamaan dengan bahasa-bahasa daerah lainnya di Indonesia. Bahasa Madura banyak terpengaruh oleh bahasa Jawa, Melayu, Bugis, Tionghoa dan lain sebagainya.
Pengaruh bahasa Jawa sangat terasa dalam bentuk sistem hierarki berbahasa sebagai akibat pendudukan Mataram atas Pulau Madura. Banyak juga kata-kata dalam bahasa ini yang berakar dari bahasa Indonesia atau Melayu bahkan dengan Minangkabau, tetapi sudah tentu dengan lafal yang berbeda. Contoh :
1.     bhilâ (huruf "â" dibaca [e] ) sama dengan bila = kapan
2.     orèng = orang
3.     tadhâ' = tidak ada (hampir sama dengan kata tadak dalam Melayu Pontianak)
4.     dhimma (baca: dimmah) = mana? (hampir serupa dengan dima di Minangkabau)
5.     tanya = sama dengan tanya
6.     cakalan = tongkol (hampir mirip dengan kata Bugis : cakalang tapi tidak sengau)
7.     onggu = sungguh, benar (dari kata sungguh)
8.     Kamma (baca: kammah mirip dengan kata kama di Minangkabau)= kemana?
2.2.2. Sistem Pengucapan
Bahasa Madura mempunyai sistem pelafalan yang unik. Begitu uniknya sehingga orang luar Madura yang berusaha mempelajarinyapun mengalami kesulitan, khususnya dari segi pelafalan tadi. Bahasa Madura mempunyai lafal sentak dan ditekan terutama pada konsonan [b], [d], [j], [g], jh, dh dan bh atau pada konsonan rangkap seperti jj, dd dan bb . Namun penekanan ini sering terjadi pada suku kata bagian tengah. Sedangkan untuk sistem vokal, Bahasa Madura mengenal vokal [a], [i], [u], [e], [ə] dan [o].
2.2.3. ingkatan Bahasa
Bahasa Madura sebagaimana bahasa-bahasa di kawasan Jawa dan Bali juga mengenal Tingkatan-tingkatan, namun agak berbeda karena hanya terbagi atas tiga tingkat yakni:
1.     Ja' - iya (sama dengan ngoko)
2.     'Èngghi-Enthen (sama dengan Madya)
3.     Èngghi-Bunthen (sama dengan Krama)
Bahasa Madura memiliki karakter khusus terutama dalam kosakatanya yang banyak mengenal bunyi “letup” seperti kata saba’ (meletakkan) dan lagghu’ (besok). Karakter khusus yang lain adalah banyaknya konsonan yang muncul dalam sebuah kata semisal lebbhak (muara) dan bhajjrah (mujur).
Dua keunikan ini menjadikan bahasa Madura berbeda dengan bahasa daerah lainnya. Apabila seseorang yang berasal dari suku bangsa lain mempelajari bahasa Madura, pada mulanya mungkin dia akan mendapati hambatan yang berhubungan dengan dua karakter tadi. Namun sisi positifnya, karena keunikan bahasa Madura inilah, sebuah kosakata dalam bahasa Madura apabila telah diingat dan dipahami maknanya tidak akan pernah dapat dilupakan oleh orang yang belajar bahasa Madura tersebut.
Di sekolah, bahasa Madura diajarkan dalam bentuk muatan lokal sejak tahun 1994. Pada saat itu posisi muatan lokal bahasa Madura masih belum jelas apakah menjadi sebuah mata pelajaran yang diwajibkan ataukah tidak. Baru ketika Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang disahkan pada tanggal 8 Juli 2003, posisi bahasa ini resmi menjadi salah satu mata pelajaran yang wajib diajarkan di sekolah (dasar dan menengah) (Azhar, 2009).
 Resminya bahasa Madura menjadi bahasa yang wajib dipelajari di Sekolah Dasar dan Menengah di seluruh pulau Madura menyebabkan Pemerintah Kabupaten memiliki kewajiban yang penuh untuk mendukung program ini. Kewajiban itu kemudian dilaksanakan oleh Dinas Pendidikan Pemerintah Kabupaten setempat dengan membentuk tim perancang dan pengembang kurikulum bahasa daerah. Tim perancang dan pengembang kurikulum bahasa daerah lokal ini pada akhirnya menerbitkan buku ajar yang dipakai oleh seluruh siswa SD maupun SMP setempat
2.2.4. Penulisan Bahasa Madura
Bahasa Madura sebelumnya menggunakan Carakan dan Pegon dalam penulisan namun pada buku-buku berbahasa Madura terbitan setelah tahun 1972 sudah dimulai penyesuaikan tulisan dengan Ejaan Yang disempurnakan (EYD) namun menggunakan huruf diakritik dalam penulisan yaitu a,â,è,e,i,o,u
pada dasarnya sama saja dengan bahsa indonesia. bahasa madura juga mempunyai “carakan lo…” lo di jawa ada “o no co ro ko dst” di madura ada “a na ca ra ka dst” tapi “a” juga bisa di katakan “ha” berlaku jika kita hendak menulis kata “ha”. misal “HARIS” jadi carakan “a” difungsikan sebagai “HA”. tapi dalam artikel ini kan membahas kalimat dalam tulisan biasa bukan carakan madura.
Dalam bahasa madura ada 2 jenis ejaan yaitu ejaan lama dan ejaan baru. perbedaannya adalah:
1.    ejaan lama : menggunakan huruf “e” untuk membunyikan vocal “e”
2.    jaan baru : menggunakan huruf “a” untuk membunyikan vokal “e” tapi diatas huruf “a” diberi tanda petik namun sayang di wordpress ini penulis tdk tahu bagana menuliskan huruf tersebut. namun jika di word kita bisa mengambilnya di “simbol”
contoh : maduhure (ejaan lama) madhura (ejaan baru) ingat, di atas huruf “a” diberi tanda petik. namun bacaannya huruf “a” diatas berbunyi “e”.
Di bahsa madura ada pengulangan kata untuk kata-kata tertentu misal :
1.        taretan = saudara. jika kita mau bilang “saudara-saudara” maka kita bilangnya “tan-taretan“.
2.        Sisa – sisa = rE-karEh berasal dari kata karEh
3.        Manis – manis = Nes-manEs berasal dari kata manEs
4.        Cantik – cantik = din-raddin berasal dari kata raddin
berikut contoh penyusunan kalimat bahasa madura :
1.      Ayah makan nasi = bapak ngakan nasEk (bhs kasar) = rama adhE’Er nasEk (bhs halus)
2.      Ibu pergi ke pasar = Ebuh entar kapasar (bhs kasar) = Ebuh meyos ka pasar (bhs halus)
3.      Adik tidur siang = alek tedung abEn/siang (bhs kasar) = alek tedung abEn/siang (kasar halus sama saja) karena yang di jadikan subjek adalah “adik” lebih muda dari kita. kecuali yang tidur adalah yang lbh tua dari kita atau yang kita hormati seperti putra raja/kyai.
2.2.5. Dialek-Dialek Bahasa Madura
2.2.5.1.     Pengertian Sosiodialektologi
Sebelum mengkaji variasi dialek bahasa madura, terlebih dahulu harus mengerti apa yang dimaksud Sosiodialektologi. Sosiodialektologi adalah gabungan dua disiplin ilmu yaitu sosiolinguistik dan dialektologi. Sosiolinguistik adalah ilmu yang mempelajari bahasa yang berhubungan dengan masyarakat (Hudson, 1980 : 3).
Dialektologi adalah cabang linguistik yang mempelajari variasi-variasi bahasa dengan memperlakukannya dengan struktur yang utuh (Kridalaksana, 2001 : 42). Dialektologi juga mempelajari variasi bahasa dalam semua aspeknya (Keraf, 1984 : 143). Trudgill (1985 : 17) menyatakan bahwa dialek mengacu pada perbedaan-perbedaan antara macam-macam bahasa yang berbeda kosa kata, tata bahasa dan juga pengucapannya.
2.2.5.2.     Ciri – Ciri Dialek
Ciri-ciri utama dialek ialah perbedaan dalam kesatuan dan kesatuan dalam perbedaan (Meilet 1967 : 70 yang dikutip oleh Ayatrohaedi, 1979 :2). Ciri lain yakni: Dialek ialah seperngkat bentuk ujaran setempat yang berbeda-beda, yang memliki ciri-ciri umum dan masing-masing lebih mirip sesamanya dibandingkan dengan bentuk ujaran lain dari bahasa yang sama, dan dialek tidak harus mengambil semua bentuk ujaran dari sebuah bahasa.
2.2.5.3.     Ragam Dialek
Ragam-ragam dialek dapat digolongkan menjadi 3 kelompok golongan ( Ayatrohaedi, 1983:13) antara lain :
1.     Dialek 1.
i dalam kepustakaan dialektologi Roman, dialek ini disebut dalecte 1.yaitu dialek yang berbeda-beda karena keadaan alam sekitar tempat dialektersebut digunakan sepanjang perkembangan. Dialek itu dihasilkan karena adanya dua faktor yang salimg melengkapi, yaitu faktor waktu dan faktor tempat.
2.        Dialek 2.
Dialek ini di dalam kepustakaan dialektologi Roman di sebut dialecte 2, regiolecte, atau dialecte regional, yaitu bahasa yang dipergunakan diluar daerah pakainya.
3.        Dialek Sosial.
Dialek sosal atau sosiolacte ialah ragam bahasa yang dipergunakan oleh kelompok tertentu, yang membedakan dari kelompok masyarakat lainnya.
2.5.6.                                                                                                      Faktor yang Mempengaruhi Ragam Bahasa
Beberapa pendapat para ahli bahasa mengenai faktor-faktor peneyebab adanya ragam bahasa, antara lain dikemukakan oleh Kridalaksana (1970), Nababan (1991), Suwito (1992), dan Abdul Chaer (1995).
Menurut Kridalaksana faktor-faktor tersebut adalah: waktu, tempat, sosio-budaya, situasi, dan sarana pengungkapan. Menurut Nababan, faktor-faktor tersebut meliputi: daerah, kelompok, atau keadaan sosial, situasi dan tingkat formalitas, serta zaman yang berlainan.
Menurut Suwito, meliputi faktor-faktor: penutur, sosietal, dan situasi tuturan. Menurut Abdul Chaer , meliputi: keragaman sosial penutur dan keragaman fungsi bahasa. Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa secara garis besar ada dua faktor yang mempengaruhi ragam bahasa, yaitu faktor eksternal dan internal.
 Faktor eksternal yaitu faktor yang berada di luar sistem bahasa, meliputi: waktu, tempat, sosial-budaya, situasi dan sarana yang digunakan. Sedangkan faktor internal adalah faktor yang ada di dalam bahasa itu sendiri, misalnya mengenai variasi fonetis, variasi fonemis, dan variasi morfolois.
2.5.7.                                                                                                      Variasi Bahasa
Suwito (1983:29), berpendapat bahwa variasi bahasa adalah sejenis ragam yang pemakainya disesuaikan dengan situasi dan fungsinya, tanpa mengabaikan kaidah pokok yang berbeda dalam bahasa yang bersangkutan. Berdasarkan pengertian tersebut, masalah variasi bahasa sangat bergantung pada dua faktor , yaitu faktor linguistik dan faktor nonlinguistik.
Hal-hal yang terkait dengan faktor linguistik terwujud dalam norma-norma internal bahasa, baik sistem bunyi, sistem kata, maupun sistem kalimat. Hal-hal yang terkait dengan faktor nonlinguistik berupa pemakaian bahasa yang disesuiaikan dengan situasi dan fungsi bahasa yang bersangkutan.
Nababan (1993:13) menyatakan bahwa bahasa terdiri dari dua aspek pokok yaitu aspek bentuk dan makna. Akan tetapi walaupun polanya berbeda masih memiliki kesamaan dengan pola induknya (Soepomo dalam Sowito, 1983:23).
Kartimiharja (1988:82) mengemukakan bahwa variasi bahasa merupakan istilah yang agak umum dan netral istilahnya, istilah itu diasosiasikan dengan perbedaan dalam suatu bahasa yang timbul karena adanya kelas sosial ekonomi, latar belakang pendidikan, serta profesi, ideologi, cita-cita dan agama.
Chaer dan Leonie Agustina (2001: 61-62) mengemukakan bahwa variasi bahasa dapat diklasifikasikan dari segi penutur,pemakaian, keformalan, dan sarana.
2.2.8.      Bahasa Madura
Bahasa Madura dituturkan oleh suku yang tinggal di pulau Madura dan beberapa pulau kecil disekitarnya serta beberapa daerah di pesisir timur pulau Jawa. Selain itu, bahasa Madura juga dituturkan oleh suku Madura di beberapa daerah lain di luar daerah asal. Terdapat beberapa daerah yang tercatat merupakan kantong-kantong suku Madura seperti Kalimantan Selatan serta beberapa pulau kecil lainnya.
SIL (Summer Institute of Linguistics) dalam Mahsun (2008) menyebutkan bahwa terdapat enam dialek bahasa Madura, yaitu: Bawean (Boyan), Bangkalan (BAngkalon), Pamekasan (Pamekesan), Sampang, Sapudi, dan Sumenep. Namun, berdasarkan perhitungan dialektometri, kelima dialek terakhir termasuk dalam perbedaan subdialek karena persentase perbedaan berkisar 31—50%.
Berbeda dengan SIL, Soegianto dkk. (1986) menunjukkan bahwa bahasa Madura di Pulau Madura mempunyai tiga variasi dialek, yaitu dialek Bangkalan, dialek Pamekasan, dan dialek Sumenep.  Ketiga dialek tersebut memiliki ciri tertentu. Khusus untuk dialek Bangkalan dapat dikenali dari intonasi yang cepat dan beberapa perbedaan leksikal (lihat Sofyan 2003, Soetoko 1998).  
Soetoko (1998) melalui penelitiannya menyimpulkan bahwa dialek Sumenep merupakan dialek yang paling relik yang tidak memiliki varian inovatif, sedangkan dialek Bangkalan merupakan dialek yang paling inovatif dan sama sekali tidak memiliki ciri varian relik. Hal tersebut dikarenakan Sumenep secara kultural dan geografis terisolasi, sedangkan Bangkalan merupakan kota yang penting secara ekonomis karena dekat dengan Surabaya, kota pusat perdagangan.
2.2.8.1.                                                                                                                                                                                                 Dialek – dialek Bahasa Madura
Bahasa Madura juga mempunyai berbagai dialek tersendiri bergantung kepada wilayah penuturnya. Di Pulau Madura sendiri pada dasarnya terdapat beberapa dialek seperti
1.    Dialek Bangkalan
2.    Dialek Sampang
3.    Dialek Pamekasan
4.    Dialek Sumenep
5.    Dialek Kangean
Dialek yang dijadikan acuan baku Bahasa Madura adalah dialek Pamekasan, kerana Pamekasan merupakan pusat kerajaan dan kebudayaan Madura di masa lalu. Dialek-dialek lainnya merupakan dialek rural yang telah bercampur seiring dengan mobilisasi yang terjadi di kalangan masyarakat Madura. Di pulau Jawa, dialek-dialek ini seringkali bercampur dengan Bahasa Jawa sehingga kerap mereka lebih suka dipanggil sebagai Pendalungan daripada sebagai Madura. Pada umumnya masyarakat Bondowoso lebih menguasai dialek bahasa madura Pamekasan daripada bahasa madura Sumenep.
Contoh pada kata ganti kamu :
1.     kata be'en umum digunakan di Madura sementara kata be'na dipakai di Sumenep.
2.     kata kakeh untuk kamu lazim dipakai di Bangkalan bahagian timur dan Sampang.
3.     Heddeh dan Seddeh dipakai di daerah Bangkalan selatan(kamal)
4.     "be'eng" dipakai di daerah Bangkalan kota.
Bagi dialek Kangean, dialek ini merupakan serpihan dari Bahasa Madura. Perbezaannya yang berbeda menyebabkan dialek Kangean dianggap bukan sebahagian Bahasa Madura, khususnya oleh masyarakat Madura daratan.
Contoh :
1.     akoh : saya (sengko' dalam bahasa Madura daratan)
2.     kaoh : kamu (be'en atau be'na dalam bahasa Madura daratan)
3.     berrA' : berat (berre' dengan e pet pet dalam bahasa Madura daratan)
4.     morrAh : murah (mode dalam bahasa Madura daratan)
Faktor-faktor yang mempengaruhi ragam bahasa, yaitu faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal yaitu faktor yang berada di luar sistem bahasa, meliputi: waktu, tempat, sosial-budaya, situasi dan sarana yang digunakan. Sedangkan faktor internal adalah faktor yang ada di dalam bahasa itu sendiri, misalnya mengenai variasi fonetis, variasi fonemis, dan variasi morfolois.
2.2.8.2.                                                                                                                                                                                                     Perbandingan dengan Bahasa Melayu
1.     Dâpur (baca: Depor) = Dapur
2.     Kanan = Kanan
3.     Bânyâk (baca: benyyak) = Banyak
4.     Maso' (baca: Masok) = Masuk
5.     Soro (baca: Soro) = Suruh
Perbedaan imbuhan di depan, contohnya:
1.     Ngakan = Makan
2.     Ngènom = Minum
3.     Arangkak = Merangkak
4.     Juk-tojuk =Duduk-duduk
5.     Asapoan = Menyapu
6.     Acaca = Bicara
Konsonan [j] biasanya ditukar ke [d͡ʒ], seperti:
1.    Bâjâr (baca: Bejer) = Bayar
2.    Lajân (baca: Lajen) = Layan
3.    Sembhajang (baca: sembejeng) = Sembahyang
Konsonan [w] di pertengahan pula ditukar ke konsonan [b], seperti:
1.    Bâbâang (baca: Bebeng)= Bawang
2.    Jâbâ (baca: Jebe) = Jawa
2.2.8.3.                                                                                                                                                                                                     Perbandingan dengan Bahasa Jawa
Perkataan yang sama dengan bahasa Jawa:
Bahasa Jawa = Bahasa Bawean
1.    Kadung = Kadung (Bahasa Melayu = Terlanjur)
2.    Peteng = Peteng (Bahasa Melayu = Gelap)
Konsonan [w] di pertengahan pula ditukar ke konsonan [b], seperti:
Bahasa Jawa ~ Bahasa Bawean
1.    Lawang = Labang(baca Labeng) (Bahasa Melayu = Pintu)
Konsonan [j] di pertengahan pula ditukar ke konsonan [d͡ʒ], seperti:
1.    Payu = paju (Bahasa Melayu = Laku)
2.2.8.4.                                                                                                                                                                                                     Perbandingan dengan Bahasa Banjar
Perkataan yang sama dengan bahasa Banjar:
Bahasa Banjar = Bahasa Bawean
1.     Mukena = Mukena (Bahasa Melayu = Telekung Sembahyang)
2.     Bibini' = Bibini (Bahasa Melayu = Perempuan)
2.2.8.5.                                                                                                                                                                                                     Perbandingan dengan Bahasa Tagalog
Bahasa Bawean = Bahasa Tagalog
1.    Apoy = Apoy (Bahasa Melayu = Api)
2.    Èlong = Elong; penggunaan [e] (Bahasa Melayu = Hidung)
3.    Matay = Mamatay (Bahasa Melayu = Mati)
Contoh:
1.    Eson terro ka be'na = saya sayang kamu (di Bawean ada juga yang menyebutnya Ehon, Eson tidak dikenal di bahasa Madura)
2.    Bhuk, badhâ berrus? = Buk, ada sikat? (berrus dari kata brush)
3.    Ekalakaken = ambilkan (di Madura ekala'aghi, ada pengaruh Jawa kuno di akhiran -aken).
4.    Silling = langit-langit (dari kata ceiling)
2.3.  Budaya Masyarakat Madura
Kebudayaan adalah seperangkat peraturan atau norma yang dimiliki bersama oleh para anggota masyarakat, yang kalau dilaksanakan oleh para anggotanya, melahirkan perilaku yang oleh para anggotanya dipandang layak dan dapat diterima.
Kebudayaan terdiri dari nilai-nilai, kepercayaan, dan persepsi abstrak tentang jagat raya yang berada di balik perilaku manusia, dan yang tercermin dalam perilaku. Semua itu adalah milik bersama para anggota masyrakat, dan apabila orang berbuat sesuai dengan itu, maka perilaku mereka dianggap dapat diterima di dalam masyarakat.
Kebudayaan dipelajari melalui sarana bahasa, bukan diwariskan secara biologis, dan unsur-unsur kebudayaan berfungsi sebagai suatu keseluruhan yang terpadu. Dari definisi diatas masyarakat Madura memiliki kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan masyarakat-masyarakat pada umumnya (masyarakat di luar Pulau Madura).
Meskipun Madura masih berada di wilayah Indonesia tapi karena faktor letak membuat kebudayaan-kebudayaan di Indonesia berbeda-beda, dari satu daerah-ke daerah lain pasti memiliki perbedaan kebudayaan. Untuk kebudayaan masyarakat Madura sendiri sangat beragam.
2.3.1. Sejarah Madura
Perjalanan Arya Wiraraja sebagai adipati pertama di madura pada abad 13. dalam kitab negara kertagama terutama pada tambang 15, mengatakan bahwa Pulau Madura semula bersatu dengan tanah Jawa, ini menunjukkan bahwa pada tahun 1365an orang Madura dan orang Jawa merupakan bagian dari komonitas budaya yang sama.
Sekitar tahun 900-1500, pulau ini berada dibawah pengaruh kekuasaan kerajaan Hindu Jawa Timur seperti Kediri, Singhasari dan Majapahit. Diantara tahun 1500 dan 1624, para penguasa Madura pada batas tertentu bergantung pada kerajaan - kerajaan Islam di pantai utara Jawa seperti Demak, Gresik dan Surabaya.
Pada Tahun 1624, Madura ditaklukkan oleh Mataram. sesudah itu, pada paruh pertama abad kedelapan belas Madura berada di bawah kekuasaan kolonial Belanda (mulai 1882), mula - mula oleh VOC, kemudian oleh pemerintah Hindia - Belanda. Pada saat pembagian provinsi pada tahun 1920-an, Madura menjadi bagian dari provinsi Jawa Timur.
Sejarah mencatat Aria Wiraraja adalah Adipati Pertama di Madura, diangkat oleh Raja Kartanegara dari singosari, tanggal 31 Oktober 1269. Pemerintahannya berpusat di Batuputih Sumenep, merupakan keraton pertama di Madura.
 Pengangkatan Aria Wiraraja sebagai Adipati pada waktu itu, diduga berlangsung dengan upacara kebesaran kerajaan Singosari yang dibawa ke Madura. Di Batuputih yang kini menjadi sebuah Kecamatan kurang lebih 18 Km dari Kota Sumenep, terdapat peninggalan - peninggalan keraton Batuputih, antara lain berupa tarian rakyat, tari Gambuh dan tari Satria.
2.3.2. Ragam Budaya Madura
2.3.2.1.     Karapan Sapi
karapan sapi adalah satu istilah dalam bahasa Madura yang digunakan untuk menamakan suatu perlombaan pacuan sapi. Ada dua versi mengenai asal usul nama kerapan. Versi pertama mengatakan bahwa istilah “kerapan” berasal dari kata “kerap” atau “kirap” yang artinya “berangkat dan dilepas secara bersama-sama atau berbondong-bondong”. Sedangkan, versi yang lain menyebutkan bahwa kata “kerapan” berasal dari bahasa Arab “kirabah” yang berarti “persahabatan”.
Namun lepas dari kedua versi itu, dalam pengertiannya yang umum saat ini, kerapan adalah suatu atraksi lomba pacuan khusus bagi binatang sapi. Sebagai catatan, di daerah Madura khususnya di Pulau Kangean terdapat lomba pacuan serupa yang menggunakan kerbau. Pacuan kerbau ini dinamakan mamajir dan bukan kerapan kerbau. Asal usul kerapan sapi juga ada beberapa versi.
Versi pertama mengatakan bahwa kerapan sapi telah ada sejak abad ke-14. Waktu itu kerapan sapi digunakan untuk menyebarkan agama Islam oleh seorang kyai yang bernama Pratanu. Versi yang lain lagi mengatakan bahwa kerapan sapi diciptakan oleh Adi Poday, yaitu anak Panembahan Wlingi yang berkuasa di daerah Sapudi pada abad ke-14. Adi Poday yang lama mengembara di Madura membawa pengalamannya di bidang pertanian ke Pulau Sapudi, sehingga pertanian di pulau itu menjadi maju.
Salah satu teknik untuk mempercepat penggarapan lahan pertanian yang diajarkan oleh Adi Polay adalah dengan menggunakan sapi. Lama-kelamaan, karena banyaknya para petani yang menggunakan tenaga sapi untuk menggarap sawahnya secara bersamaan, maka timbullah niat mereka untuk saling berlomba dalam menyelesaikannya. Dan, akhirnya perlombaan untuk menggarap sawah itu menjadi semacam olahraga lomba adu cepat yang disebut kerapan sapi.
Kerapan Sapi adalah sebagai salah satu wujud hasil  budaya yang berupa kesenian yang mana kerapan sapi merupakan salah satu jenis atraksi yang diangkat dari budaya Madura dan bentuk dari budaya tersebut  adalah memeragakan lomba pacuan sapi yang memang khusus untuk dilombakan. Di daerah Madura rata-rata masyarakatnya memang cenderung mengetahui keberadaan kebudayaan tersebut.
Masyarakat Madura mengenal kerapan sapi sebagai sebuah ritual kebudayaan, artinya kebudayaan ini dilaksanakan pada moment tertentu, seperti : acara selamatan Desa, acara selamatan untuk memperingati momen-momen tertentu, ataupun Acara tahunan rutinitas Desa maupun rutinitas sepulau Madura yang memang dilakukan secara berkesinambungan sampai saat ini.
Budaya Karapan Sapi Madura adalah sebuah kebanggaan bagi masyarakat Madura. Kebudayaan ini menjadi ciri khas daerah Madura yang terkenal sampai saat ini. Banyak masyarakat dari daerah lain tertarik dengan budaya ini. Keunikan budaya dari kerapan sapi yaitu pada saat pacuan berlangsung.
Tingkat bahaya memang cukup tinggi, namun ketika sapi sudah terpacu menjadi sebuah hal yang dianggap seru dan menarik bagi penontonya. Pemilik sapi kerapan ini memang berasal dari masyarakat asli Madura dan kebudayaan ini masih dipertahankan  sampai sekarang. Dalam beberapa perlombaan yang berkembang di pacuan karapan sapi ini.
Di Madura, sapi merupakan simbol penting dalam kehidupan. Sapi bagi masyarakat Madura memiliki banyak fungsi  dan menguntungkan sehingga dapat menunjang kehidupannya.
Kerapan Sapi yang banyak di minati masyarakat khususnya di Pulau Madura sampai saat ini tidak hanya di Madura saja, tetapi peminat dari kebudayaan ini sudah tersebar di beberapa wilayah Indonesia khususnya di wilayah Jawa Timur. Kebudayaan ini berkembang sangat pesat di daerah Jawa Timur.
karapan sapi adalah satu istilah dalam bahasa Madura yang digunakan untuk menamakan suatu perlombaan pacuan sapi. Kerapan adalah suatu atraksi lomba pacuan khusus bagi binatang sapi.
Dewasa ini pelaksanaan kerapan sapi berkaitan dengan masalah bisnis dan judi. Dalam prakteknya ada pihak-pihak yang sengaja ingin mendapatkan keuntungan sebanyak banyaknya.
Para pemilik sapi kerapan sebenarnya juga mencari keuntungan dan melakukan berbagai upaya agar menang , ada yang minta pertolongan kyai tradisional atau pemimpin keagamaan dan ada juga yang mencari nasehat peramal atau dukun untuk menjaga agar kondisi sapi mereka sebaik mungkin. Semua ini dilakukan dengan harapan menang.
Lomba lari sapi untuk kerapan di Madura merupakan hiburan yang menyenangkan. Kadang-kadang ada yang dilengkapi dengan ditampilkannya saronen.
Oleh karena itu dalam pembahasan kali ini akan dibahas secara rinci agar kita dapat mengetahui tentang karapan sapi.
Jenis Kerapan Sapi
Ada lima jenis karapan sapi di Madura, yaitu:
1.    Kerrap Keni (Karapan Kecil)
Kerrap Keni atau yang dikenal sebagai Karapan Kecil adalah salah satu jenis perlombaan Karapan Sapi dengan level Kecamatan saja. Jarak tempuh dari perlombaan Kerrap Keni sekitar 110 meter. Pemenang dalam perlombaan Kerrap Keni biasanya mendapatkan kesempatan untuk mengikuti Karapan Sapi dengan level yang lebih tinggi.
2.                  Kerrap Rajah (Karapan Besar)
Kerrap Rajah termasuk salah satu jenis perlombaan Karapan Sapi yang memiliki level lebih tinggi di atas Kerrap Keni. Kerrap Rajah adalah perlombaan Karapan Sapi pada tingkat Kabupaten saja. Biasanya para peserta lomba berasal dari para juara Kerrap Keni. Jarak tempuh dari perlombaan ini lebih jauh 10 meter dibanding Kerrap Keni, yaitu 120 meter.
3.    Kerrap Karesidenan (Gubeng)
Kerrap Karesidenan adalah Karapan Sapi dengan tingkat Karesidenan. Perlombaan ini diikuti oleh para juara dari 4 kabupaten yang terdapat di Madura. Lokasinya di Bakorwil Madura, tepatnya di Kabupaten Pamekasan. Perlombaan tersebut biasanya dilaksanakan pada hari Minggu. Hari Minggu yang dipilih merupakan hari dimana acara puncak berlangsung untuk mengakhiri musim karapan.
4.    Kerrap Onjangan (Karapan Undangan)
Kerrap Onjangan atau Karapan Undangan adalah Karapan Sapi yang pesertanya berasal dari undangan kabupaten penyelenggara. Karapan ini diadakan dalam rangka memperingati hari besar tertentu maupun syukuran.
5.    Kerrap Jar-ajaran (Karapan Latihan)
Kerrap Jar-ajaran atau dikenal sebagai Kerapan Latihan adalah Karapan Sapi yang dilakukan untuk melatih sapi-sapi sebelum turun ke perlombaan. Dalam Karapan Latihan ini, sapi dilatih dan dipersiapkan agar bisa bertanding dengan baik di lapangan.
2.3.2.2.     Mamaca
Mamaca adalah seni vokal Madura yang ada persamaannya dengan seni mocopat di Jawa. Mamaca berarti membaca kitab dengan cara dinyanyikan. Tembang mocopat Madura pada awal keberadaannya berasal dari tembang mocopat Jawa Kuno.
Mamaca dilakukan oleh beberapa orang laki-laki, dan mereka duduk bersila di hamparan tikar mengelilingi kitab yang dijadikan sumber bacaan. Kitab ini biasanya diletakkan di atas sebuah bantal dan diasapi dengan dupa atau kemenyan lebih dulu sebelum dipergunakan.
Kitab yang beralaskan bantal di bawahnya, akan selalu berpindah-pindah atau bergeser dari tangan ke tangan, ke kiri atau ke kanan setiap se-seorang selesai gilirannya menembang. Kitab ini diteruskan kepada seseorang yang mendapat giliran berikutnya. Pada umumnya lagu yang dibawakan oleh masing-masing pelaku berkisar dua atau lima bait tembang.
Mamaca di Madura, yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh beberapa orang tersebut, pada prinsipnya diperankan oleh dua tokoh, yang satu sebagai tokang cator atau pembawa lagu (Jawa: nembang), dan yang satunya lagi sebagai penerjemah atau disebut panegges. Panegges bertugas sebagai penerjemah kalimat lagu yang telah dibaca atau dilagukan oleh tokang cator.
Ciri khas yang menonjol dalam seni mamaca adalah membaca atau melagukan tembangnya dengan diembat-embat berkepanjangan, seakan-akan tidak ada putus-putusnya antara bagian kalimat satu dengan lainnya. Seni mamaca biasanya diiringi dengan bunyi instrumen musik seruling, gambang, gender, dan instrumen gamelan lainnya.
Bentuk-bentuk tembang yang dilagukan dalam  seni mamaca adalah tembang-tembang mocopat yang berjumlah sembilan lagu: dandanggula, asmarandana, maskumambang, sinom, kinanti, gambuh, pocung, pangkur dan durma. Akan tetapi di Madura yang populer digunakan adalah dandanggula, asmarandana, sinom, dan kinanti.
Adapun kitab-kitab yang dipergunakan sebagai sumber bacaan bermacam-macam, antara lain adalah, Layang Yusuf, Nurbuat, Layang Candraningrat, dan cerita-cerita yang berpijak pada Mahabarata yang ditulis dalam bentuk puisi dan bertuliskan huruf Arab Pegon, dan ada juga yang bertuliskan huruf Jawa dan berbahasa Jawa Kawi.
Penyelenggaraan seni mamaca biasanya diadakan oleh masyarakat di pedesaan, ketika melaksanakan hajatan ritual dan ketika memperingati hari-hari besar Islam. Durasi pelaksanaan mamaca pun beragam dari durasi pendek sekitar satu jam hingga durasi panjang selama semalam suntuk. Acara ini biasanya dilaksanakan pada malam hari dimulai sesudah sholat Isya sampai menjelang waktu subuh.
Adapun cerita yang dibawakan disesuaikan dengan situasi serta kondisi pelaksanaan hajatan. Pemilihan cerita ini dapat berangkat dari gagasan penyelenggara hajat atau dapat juga atas saran para orangtua.
2.3.2.3.     Mamapar Gigi
Tradisi Mamapar gigi ini bisa ditemui di seluruh pedesaan yang ada di Sumenep, tepatnya di Desa Panagan, Kecamatan Gapura, sekitar 10 kilometer arah Tenggara Kota Sumenep. Tradisi ini sangat erat kaitannya dengan daur hidup (lingkaran hidup) individu, khususnya bagi seorang perempuan yang ingin melangsungkan pernikahan. “Mapar” dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai “melakukan suatu pekerjaan untuk merapikan dan meluruskan”. Jadi, mapar gigi dapat diartikan sebagai suatu usaha untuk merapikan dan meluruskan bentuk susunan gigi dengan seperangkat alat khusus.
2.3.2.3.1        Waktu dan Tempat Upacara
Upacara mapar gigi biasanya dilaksanakan ketika seorang gadis akan melangsungkan Pernikahan. Tujuannya, agar bentuk gigi sang gadis terlihat lebih rapi dan menarik. Selain itu, mapar gigi juga mengandung makna membuang segala macam sangkal pada diri sang gadis sebelum memasuki kehidupan yang baru.
Adapun tempat pelaksanaan upacaranya bergantung dari tahapan-tahapan yang harus dilalui oleh si gadis. ada beberapa tahapan Untuk tahap mapar gigi, antara lain pembacaan kidungan atau mocopat, dan pencukuran rambut halus di dahi dan tengkuk diadakan di rumah sang gadis. Sementara untuk prosesi pembuangan rambut halus sebagai simbol pembuangan sangkal berlangsung di perempatan jalan dalam sebuah kirab atau arak-arakan.
Seluruh tahapan upacara tersebut dipimpin oleh ahli papar gigi. Dalam melaksanakan tugasnya Sang ahli mapar akan dibantu oleh ahli mocopat beserta tukang tegesnya yang akan membacakan kidungan atau mocopat ketika prosesi mapar gigi dilakukan. Sedangkan pihak lain yang juga terlibat dalam penyelenggaraan upacara adalah:
1.     keluarga gadis yang akan dimapar giginya,
2.     calon suami si gadis beserta kerabatnya,
3.     beberapa orang gadis yang nantinya akan bertugas mengitari sang gadis saat dupa dibakar, dan
4.     para seniman soren, hadrah, dll yang nantinya akan mengiringi calon pengantin saat melakukan kirab.
2.3.2.3.2        Peralatan Upacara
Peralatan dan perlengkapan yang perlu dipersiapkan dalam upacara mapar gigi dibagi menjadi tiga, yaitu yang dipersiapkan oleh pihak calon mempelai perempuan, calon mempelai laki-laki dan oleh sang ahli papar gigi. Peralatan dan perlengkapan yang dipersiapkan oleh pihak calon mempelai laki-laki adalah bang-giban atau barang-barang bawaan berupa bermacam-macam kue, alat-alat rias, dan lain sebagainya yang ditaruh dalam sebuah kotak besar berukir (judang).
Peralatan dan perlengkapan yang disediakan oleh pihak keluarga calon mempelai perempuan adalah: beraneka macam jajanan pasar yang nantinya akan digunakan sebagai suguhan bagi para tamu dan rampatan (sesajen), kelapa gading, telur ayam, air kumkuman seribu kembang, nasi kuning, dan dhamar kambang (lampu minyak kelapa). Terakhir, peralatan yang disediakan oleh ahli papar gigi berupa: batu asah, pisau yang menyerupai kikir, dan batu pengganjal.
2.3.2.3.3        Jalannya Upacara
Apabila waktu pelaksanaan upacara mapar gigi telah disepakati, maka pihak calon mempelai pria akan menuju ke rumah calon mempelai wanita dalam sebuah arak-arakan sambil membawa judang, tenong, dan lain sebagainya. Di sepanjang perjalanan menuju ke rumah calon mempelai wanita tersebut, biasanya mereka diiringi oleh lantunan kesenian tradisional dari para seniman Saronen atau Hadrah.
Di lain pihak, sambil menunggu kedatangan calon mempelai pria, kerabat calon mempelai wanita mulai mempersiapkan segala peralatan dan perlengkapan yang nantinya akan digunakan ketika prosesi adat mapar gigi berlangsung. Selain itu, mereka juga mengundang ahli papar gigi untuk memimpin upacara dan tiga orang lagi yang akan bertugas sebagai pembaca tembang mocopat beserta tukang tegesnya.
Setelah rombongan calon mempelai pria datang prosesi mapar gigi pun segera dimulai. Dengan menggunakan peralatan berupa batu asah, pisau berbentuk kikir, dan batu pengganjal sang ahli mapar mulai meratakan gigi sang gadis. Sisa-sisa gigi hasil mapar lalu dikumpulkan dalam sebuah kain untuk dibuang di sebuah persimpangan jalan.
Selama proses perataan gigi tersebut berlangsung, tukang mocopat mulai membacakan kidung-kidung dari sebuah kitab kuno berhuruf Jawa yang berisikan hikayat Nabi Yusuf. Untuk lebih memperjelas makna yang terkandung dalam kitab tersebut tukang mocopat dibantu oleh tukang teges yang akan menerjemahkan kidung ke dalam bahasa Madura. Seiring dengan pembacaan kidungan, dilakukan juga pembakaran dupa di dekat sang gadis sambil dikitari oleh beberapa orang gadis lainnya.
Selesai mapar gigi, dilanjutkan dengan prosesi paras yaitu pembersihan atau pencukuran rambut halus disekitar dahi dan tengkuk sang gadis. Selanjutnya, potongan-potongan rambut halus itu dikumpulkan untuk dibawa bersama sisa-sisa potongan gigi dalam sebuah arak-arakan menuju ke perempatan jalan (tapak dadang) yang letaknya tidak jauh dari rumah sang gadis. Arak-arakan membuang rambut halus ini tetap dipimpin ahli mapar gigi dan diikuti oleh tukang mocopat, tukang teges, kerabat calon mempelai wanita, kerabat calon mempelai pria, para tetangga terdekat, dan diiringi lantunan musik dari para seniman soren atau hadrah.
Sesampainya di persimpangan jalan, ahli mapar gigi mulai membaca doa-doa lalu membuang rambut halus dan sisa potongan gigi sebagai simbol pembuangan segala macam sangkal pada diri sang gadis agar kehidupan baru bersama suaminya nanti selamat hingga akhir hayat. Prosesi pembuangan rambut dan sisa gigi ini merupakan akhir dari serentetan rangkaian dalam upacara mapar gigi.
2.3.2.4       Tandha'
Selain tandha, bisa dikatakan tak ada kesenian tradisional lain di Madura di mana perempuan menjadi unsur dominan. Tayub atau tandha satu-satunya seni tari di mana perempuan menjadi penentu dan pencirinya dari awal hingga akhir. Bahkan, penyebutan tandha untuk nama kesenian mengindikasikan hal ini. Istilah tandha lebih merujuk pada penari perempuan. Tapi karena ia menjadi unsur terpenting, kesenian itu sendiri pada akhirnya sering disebut dengan tandha.
Orang menganggap tandha tak lebih dari perempuan penghibur berfungsi sekadar menemani lelaki dalam pesta. Pandangan sekilas terhadap pesta tayub mungkin segera akan membenarkan klaim di atas. Sekelompok laki-laki berjoget di atas panggung mengelilingi seorang tandha atau lebih. Atas jasanya, si tandha menerima lembaran-lembaran uang dari laki-laki yang berjoget.
Seni tayub sendiri adalah genre seni tari yang mengutamakan penari perempuan dan laki-laki sebagai fragmen pertemuan dua jenis kelamin. Paralel dengan konsep harmonisasi seni pertunjukan tayub dengan meletakkan perempuan tandha dan penari laki-laki dalam satu ruang.
Masyarakat Madura bisa jadi sangat mudah melihat posisi penari tandha dalam dimensi seksual. Pertunjukan tandha sering diasosiasikan sebagai kesenian yang dekat dengan prostitusi terselubung dan perilaku amoral. Konon, keberadaan tandha dalam pentas sengaja diundang untuk meramaikan hajatan. Konsep sosial ini dipahami sebagai atolong oleh warga Madura. Saat ini tandha lebih menyerupai pekerjaan profesional, orang Madura mengistilahkannya alako'.
Dalam konteks relasi laki-perempuan, warga Sumenep dan Madura secara umum, adalah masyarakat patriarki. Kepemimpinan berada di tangan laki-laki, sedang perempuan berada pada posisi terlindungi. Kekhasan patriarki Madura tertuang pada tata kekerabatan, politik ruang, dan budaya kekerasan, yang berputar pada topik penguasaan dan pemilikan laki-laki atas perempuan. Misalnya, model bangunan hunian di Madura tanean lanjhang terbukti tak berfungsi tunggal sebagai rumah tinggal saja. Dengan posisi bangunan terpusat, tanean lanjhang juga berfungsi sebagai pusat kegiatan laki-laki (suami) sekaligus pusat pengontrolan aktivitas perempuan.
Kekakuan patriarki masyarakat Madura dalam memandang perempuan sebagai milik laki-laki tercermin pada cara penyelesaian konflik dengan jalan kekerasan, carok, terutama konflik yang berdimensi seksual (perselingkuhan), di samping permasalahan tanah dan ternak.
2.3.2.4.1        Relasi Laki-laki dan Perempuan
Pada puncak titik kekakuan patriarki itu, tandha muncul sebagai perempuan seni, menciptakan kelonggaran relasi gender dan menjungkirbalikkan kekuasaan laki-laki. Awalnya seni pertunjukan tayub dengan tandha sebagai pemain perempuannya, menjadi sekadar seni hiburan rakyat biasa. Tetapi ketika peran perempuan tandha bergeser dari panggung ke ruang keluarga, laki-laki (suami) tampaknya, bisa jadi, tak lagi disebut kepala keluarga.
Penghasilan tandha yang di atas rata-rata, membuat mereka mampu mengambil alih peran kepemimpinan dan pengambil keputusan keluarga. Ini dialami Suhadiyah, tandha dari Dasuk, Sumenep, yang mampu mencukupi semua kebutuhan keluarga lantaran bekerja sebagai tandha. "Saya tak minta uang ke suami dari hasil ngorkesnya, biar dipakai sendiri sehingga dia tak minta uang terus ke saya," ungkap Suhadiyah. Ia memiliki honor rata-rata Rp 500 ribu – Rp 750 ribu sekali pentas. Tetapi dalam sekali pentas ia bisa mendapat uang Rp 1 juta – Rp 3 juta rupiah dari saweran.
Suka atau tidak, suami harus mengakui dia tak sepenuhnya bisa meminta istrinya berhenti menjadi tandha. Juga menggenggam norma lama suami mengatur istri dan istri wajib menaati suami. Alasannya, persis berada pada titik ekonomi keluarga yang saat ini berada di genggaman istri.
Pengakuan suami tandha asal Saronggi ini menjelaskan fenomena terjungkirnya kuasa laki-laki. "Saya pernah cemburu, karena istri saya ada di panggung dan banyak orang. Kalau saya mulai cemburu, akan cepat saya buang. Kalau di atas panggung, orang kan tak berani macam-macam. Sempat terpikir meminta istri berhenti sebagai tandha, ternyata saya harus memikirkannya lagi karena penghasilannya memang besar".
Seiring pembalikan nilai, norma, dan kepekatan patriarki Madura, pada level kelas menengah, profesi tandha masih diragukan bisa memenuhi standar moral yang ada. Perempuan dalam posisi sosial masih diharap sebagai perempuan ideal, tetap tidak lepas dari kodrat, bertanggungjawab pada keluarga dan masyarakat. Agaknya profesi tandha bagi sebagian perempuan terdidik, berada di luar kualifikasi perempuan ideal.
"Faktor yang membuat tandha dinilai negatif karena ia tak lebih hanya obyek laki-laki, pemuas birahi laki-laki. tandha yang membuat laki-laki berpikir perempuan mudah dipegang dan bisa dijawil hanya dengan modal uang," tutur Ida, rektor perempuan sebuah universitas swasta di Sumenep.
Mungkin jarang diketahui, tahun 1970-an tandha sudah tak memakai rape' (semacam kemben) dan praktik nyompeng (memberi uang di dada tandha) praktis hilang. tandha Madura lebih menonjolkan aspek olah vokal dari pada gerak tari, lebih sering mengenakan kebaya layaknya ibu-ibu PKK.
Saat ini seni karawitan di Sumenep didominasi kelompok pengrawit perempuan. Masihkah tandha diverifikasi untuk mendapat tempat di masyarakat, sementara kontribusi dan peran tandha secara sosial domestik sudah menjelaskan strategi pembebasan perempuan?
Menjadi penari tandha bukan hal mudah. Meski seni tayub Madura tak terlalu menonjolkan aspek gerak tari, namun kemampuan ngejhung (nembang) mutlak harus dikuasai. Suhadiyah, penari tandha Banyuwangi, mengaku baru menjiwai profesinya sejak lima tahun lalu.
Pertama bergelut di dunia tayub, saat bergabung di kelompok karawitan milik kakaknya, Sri Budoyo di Sumenep (1989). Waktu itu ia masih menjadi pengrawit. Banyak penari laki-laki menginginkannya ron-toron atau berperan laiknya tandha profesional. Kelak, praktik ron-toron menjadi mekanisme verifikasi sosial perempuan pengrawit menjadi tandha seutuhnya.
Sejak SD, Suhadiyah gemar berkesenian. Ia pernah ikut samroh, rebana, dan sewaktu SMP ikut bermain di kelompok dangdut. Butuh waktu lama memutuskan menjadi tandha. tandha senior yang mendorongnya adalah Mahwani, perempuan asal Saronggi. Saronggi, basis tandha di Sumenep, Madura. Sebelumnya basis tandha di Sumenep adalah Dasuk.
Saat ini alasan perempuan memilih profesi tandha tak lepas karena latar ekonomi cekak, meski pada dasarnya juga seniman. Suhadiyah mengakui rata-rata saweran yang diterimanya, Rp 1 juta per hari. Kalau ramai mencapai Rp 3 juta. Itu belum termasuk honor. Pendapatan tertingginya selama semusim (tiga bulan) tembus Rp 50 juta, pernah mencapai Rp 100 juta.
Meski penghasilannya besar, ia tetap menganggap profesi tandha rendah lantaran tak berpendidikan tinggi. Itu sebabnya, ia berharap anak perempuannya menjadi bidan, tak seperti dirinya. Bagi Suhadiyah, keluarga tetap utama. Meski, orangtuanya setuju ia menjadi tandha. Tetapi suaminya jengah, meski lambat laun memahami profesinya. Seperti rumah tangga pada umumnya, pertengkaran juga mewarnai rumah tangganya. Ia memperingatkan laki-laki yang tak kuat mental, untuk tak menyunting tandha.Seperti suami Suhadiyah yang menggugat cerai dirinya. Suhadiyah hanya mengiyakan. Entah mengapa, suaminya mengurungkan niat. Bahkan, ketika talak telah jatuh, si suami berkeras tinggal serumah. Hampir semua suami tandha memang tak bekerja atau tak memiliki pekerjaan tetap.
Suami Suhadiyah selama ini bergabung dengan orkes dangdut, dan adu burung merpati adalah hobinya. Praktis, Suhadiyah menjadi penopang utama roda rumah tangga. Rumah dan pendidikan anaknya juga buah profesi tandha. Kepala rumah tangga menempel pada sosok tandha Suhadiyah. Ia berwenang menentukan segala kebutuhan rumah tangga, termasuk memberi uang pada suami. "Kalau suami mendapat penghasilan dari ngorkes, saya suruh dia simpan untuk kebutuhannya sendiri, biar dia tak selalu minta uang pada saya", ujarnya.
Dalam lingkungan kerja, Suhadiyah berupaya menjaga hubungan baik, terutama sesama tandha. Sering terjadi persaingan tak sehat antartandha. Jika ada teman sendiri yang memiliki hajat, Suhadiyah bersikap cair dan tak pelit.
Di Sumenep, nama Suhadiyah dikenal akrab karena sering mengadakan pertunjukan, selain compact disc (CD), tandha bisa didapat di mana saja. Banyak CD tandha beredar, tapi tak ada hubungannya dengan kemakmuran hidup tandha. Honor diterimanya dari tuan rumah penyelenggara tayub, bukan produser kaset atau CD. Malah, sering aparat pemerintah dan pengayom yang mengadakan acara, meminta sumbangan pada tandha. Permintaan sumbangan juga datang dari masjid, pondok pesantren atau madrasah. Desantara
2.3.2.5       Tan-Pangantanan
Tradisi Tan-mantanan atau tan-pangantanan merupakan sebuah permainan yang dilakukan oleh anak-anak di kala senggang.  Permainan yang sangat menyenangkan ini dilakukan setelah panen tiba, setelah anak-anak selesai membantu panen di sawah. Mereka biasanya berkumpul, dan secara spontan membentuk kelompok yang terdiri dari kelompok utama (perempuan) dan kelompok besan (laki-laki). Kedua kelompok tersebut kemudian berlomba untuk menghias pengantin jagoannya di tempat yang berbeda.
Adapun hiasan yang dipakai oleh sepasang pengantin anak-anak tersebut sangat sederhana, terdiri dari kain panjang (samper palekat) yang dililitkan ke tubuh masing-masing pengantin sebatas dada. Sedangkan tata rias memakai lulur yang dibuat dari beras dan temmo (kunir & kunyit putih). Lulur tersebut dibalurkan ke seluruh tubuh dan wajah pengantin, sehingga tampak bagian tubuh yang diluluri berwarna kuning (koneng ngamennyor).
Sedangkan untuk mempercantik penampilan, maka di atas kepala di pasang sebuah mahkota yang di buat dari rangkaian daun nangka, dan roncean bunga melati. Aksesoris pengantin agar tampil menarik adalah rumbaian dari roncean daun melati (to’oran dhaun malate) yang digantungkan di leher, serta dilengkapi pula sumping daun kamboja, gelang kaki dan beberapa pelengkap bawaan yang di bawa oleh pengiring.
Setelah siap, kedua belah pihak bersepakat mempertemukan kedua pengantin di tempat yang telah ditentukan. Setelah kedua pengantin bertemu lengkap dengan para pengiringnya, baru kedua belah pihak bersepakat untuk mengarak kedua mempelai. Sepasang pengantin tersebut kemudian di arak keliling kampung, berkeliling dari kampung satu ke kampung lainnya. Arak-arakan tersebut mampu menyedot perhatian masyarakat yang dilewati, dan terkadang iringan pengantin semakin panjang karena diikuti penonton lainnya, terutama anak-anak. Sambil berjalan para pengiring melantumkan syair, Dhe’ Nong Dhe’ Ne’ Nang.
Dhe’ Nong Dhe’ Ne’ Nang
Dhe’ nong dhe’  ne’ nang
Nanganang nganang nong dhe’
Nong dhe’  ne’ nang jaga jaggur
La sayomla haeto lillah
Ya amrasol kalimas topa’
Haena haedhang haena dhangkong
Pangantanna din ba’aju din tamenggung
Ayola’ yole nengkong abli pole ngantol
Koddu’ pace pacenan, langsep buko lon alon
Pangantan ka’imma pangantan
Mantan loji pamaso’a ka karaton
Bu’ saeng lema’, bu’ saeng lema’
Aeng tase’ bang kambangan
Dhu panarema, dhu panarema
Balanjana saare korang
Bidaddari le’ bidaddar kong
Nase’ obi le’ kowa lurking
Ban-gibannna le’ nase’ jagung
Pangerengga le’ pate’ buttong
Ya, hadirin tore so’onnagi
Paneka pangantan sopaja kengeng salamet
Ya salam, ya salam
Kitab suci dah lama-lamanya
Kini pengantin lah tiba lah tiba
Kepada kawan-kawanku semua
Mudah-mudahan berjumpa lagi
Tan-taretan sadajana e dalem somana
Di sana e ka’dinto Karangduwek nyamaepon
Nyara taretan abadi kacintaan abadi kanesseran
Olle tetep Islam ban Iman
Jam yuju jam delapan, ana’ serdadu mekol senapan (dar)
Yam berana’ etekla ayam pengantin baru sudah berjalan
Tette ajam bindhara, pangantan ka’ imma pangantan
Pangantanna din ba’aju din tamongkong
Jas Turki pakaian celana puti
Aan’ ayam  berani mati, jas turki sudah mati
La bu’na mela, ajam pote
Cocco’ sengkang e soro pajikaran
Uraian Peristiwa dalam Bait-Bait, “Dhe’ Nong Dhe’ Ne’ Nang.” Berdasarkan analisa yang terkandung dalam syair, dan berdasarkan perkiraan sesepuh Sumenep, H. Saleh Muhammady, bait-bait “Dhe’ Nong Dhe’ Ne’ Nang”, bahwa syair ini diciptakan sekitar tahun 1574 M, sebagaimana tertera dalam kalimat, kalimas topa’”, yaitu dari kata sa’ (1), lema’ (5), to’ (7) dan pa’ (4). Namun tidak menutup kemungkinan angka tersebut belum menjamin kebenarannya, karena analisa lain, kata, “kalimas topa’” memiliki makna lain pula.
Apabila ditelusuri, maka dapatlah di tarik sebuah rentetan sejarah awal terbentuknya tradisi ini (tan-pangantanan) dapat diuraikan dalam kalimat, “Koddu’ pace pacenan, langsep buko lon alon”. Kata koddu’, yang condong pada jaman pemerintahan Pangeran Keddu (pangeran Wetan – 1574 M), yaitu pada jaman Ratu Tirtonegoro (tumenggung Pacinan, anak tiri Ratu Tirtonegoro) sebagai di sebut dalam kata, “bukong”, artinya kakak tua, yaitu perlambang burung yang menjelaskan bahwa Tumenggung Pacinan adalah kakak Panembahan Sumolo (pendiri masjid Jamik dan keraton Sumenep).
2.3.2.6       Ojhung
Seni bertarung menggunakan tongkat diduga merupakan seni senjata tertua yang digunakan manusia. Hal ini masuk akal, mengingat ketersediaan tongkat yang universal di seluruh kebudayaan dunia. Selain itu, tongkat kayu juga umum digunakan sebagai medium pengganti (simulator) latihan senjata tajam. Salah satu seni pertarungan tongkat yang jarang terekspos adalah seni tongkat yang berasal dari Nusantara.
Padahal, ada banyak seni bertarung menggunakan tongkat yang berasal dari nusantara: Ujungan dari tanah Sunda, Tiban di Tulungagung dan Trenggalek, Sampyong di Lumajang, Perisaian (Paresean) dari tanah Lombok, dan lain-lain. Namun kali ini penulis ingin mengulas tentang Tradisi Ojung, khususnya Ojung pulau Madura Sumenep, yang kini kelestariannya sudah mencapai taraf yang mengkhawatirkan.
Sumenep merupakan kabupaten paling timur di pulau Madura dan terkenal sebagai salah satu daerah tujuan wisata di propinsi Jawa Timur. Salah satu objek wisata yang ada di kabupaten Sumenep bera da di kecamatan Batuputih (Batopote). Dari sisi geografis, kecamatan Batuputih terletak di dataran tinggi.
Dari pusat kota Sumenep berjarak ±20 km ke arah utara, Dilihat dari kondisi struktur tanah dan bentang alamnya yang berupa pegunungan, pastinya hal yang tampak adalah kekeringan atau kekurangan air serta tanah tadah hujan, Meskipun kenyataan ini menjadi suatu yang tak bisa dihapuskan dari perjalanan masyarakat Batuputih menempuh kehidupan.
Namun walaupun demikian, kecamatan Batuputih merupakan salah satu lokasi terpenting dalam sejarah Sumenep. Tercatat bahwa Adipati Arya Wiraraja mendirikan pusat pemerintahannya di daerah ini, karena lokasinya yang tinggi dan dekat pantai sangat strategis untuk mengawasi dan menghadapi serangan dari musuh-musuhnya. Menilik dari sejarahnya, tidak heran apabila kecamatan Batuputih merupakan tempat asal dari banyak budaya keprajuritan khas Madura, salah satunya adalah tradisi “Ojung”, ritual tradisi bertarung menggunakan tongkat rotan (Bouvier, 2002).
Konon, Ojung pertama kali dipakai oleh empat bersaudara yang sedang mencari sumber mata air. Saat mata air yang mereka miliki telah mengering, mereka saling berlatih tanding amaen Ojung satu sama lainnya di atas bukit secara bergiliran dan salah satu mereka menjadi wasitnya. Setelah itu mereka menemukan sumur mata air yang sampai sekarang menjadi tempat bermain Ojung setiap tahunnya.
Secara teknis, seni ini dilakukan oleh dua orang pemain yang ditengahi oleh seorang wasit. Masing-masing pemain memiliki senjata yang terbuat dari 3 buah rotan sepanjang 110 cm yang dikepang dengan serat nanas jadi satu dan di ujungnya sengaja dibuat pentolan bergigi. Tongkat ini disebut lapolo/lopalo
Pemain juga menggunakan pelindung kepala berbentuk kerucut yang terbuat dari karung goni yang disebut bukot. Di dalam bukot dilengkapi dengan kerangka dari sabut buah kelapa dan di sampingnya dipakai sebilah kayu yang berfungsi membelokkan pukulan yang mengarah ke wajah. Terkadang, di bagian muka bukot juga diberi anyaman longgar dari rotan atau tali untuk melindungi muka secara lebih baik.
Pemain juga membutuhkan banyak sarung. Sebuah sarung digulung sebagai Odheng di bawah alat pelindung kepala; sarung lain dipakai untuk membalut sebagian tangan kiri hingga pergelangan yang berfungsi sebagai tangkes (menangkis); dan satu sarung lagi, Stagen, untuk dikenakan di pinggang. Tapi, pemain justru bertelanjang kaki dan dada. Serangan yang diperbolehkan adalah Sabet kearah tubuh bagian atas. Tidak diperbolehkan serangan Soddhuk atau menusuk.
Untuk mencari lawan tidaklah sulit, di arena gelanggang 10×10 meter itu setiap penonton dipersilahkan untuk mencari lawan sebanding, terutama tinggi dan umur. Bila sepakat bertanding, maka yang bersangkutan dipersilahkan melepas baju.
Permainan  ditengahi oleh wasit yang disebut babutto. Permainan dianggap selesai apabila wasit telah menentukan siapa pemain yang terluka terlebih dahulu atau pemain yang tongkatnya jatuh lebih dahulu. Pada pertandingan tertentu, wasit berhak menghentikan pertandingan yang menurutnya berat sebelah. Meskipun hal itu kadang dilakukan saat kedua pemain masih saling menyerang. Tidak heran, jika wasit juga mengalami luka-luka saat menengahi pertandingan dan tidak heran juga jika sebagian pendukung merasa kecewa dengan keputusan wasit.
Walaupun begitu, tidak ada pemenang maupun pihak yang kalah dalam tradisi ini. Semua pulang sebagai saudara, tidak boleh ada yang menyimpan dendam.
Selama pertandingan, musik tradisional yang disebut “Okol” dan kidungan Madura menambah semarak tradisi Ojung tersebut. Musik yang jarang dijumpai di daerah lain ini terdiri dari 3 buah Dung-Dung (akar pohon tangkel/siwalan) yang dilubangi ditengahnya sehingga bunyinya seperti bas, dan kerca serta satu alat musik klenengan sebagai pengatur lagu.
Tentunya, walaupun tidak ada pemenang, para pemuda yang akan mengikuti permainan Ojung ini sebelumnya dilatih dalam hal penggunaan lopalo, kegesitan langkah, dan taktik pertandingan. Selain itu, nyaris semua petarung masih menggunakan jimat dan ilmu kekebalan. Walaupun begitu, tidak jarang para petarung tetap terluka dan berdarah.
Dulu, Ojung merupakan bagian penting dari Rokat (selamatan) orang-orang Batuputih dalam memohon turunnya hujan pada musim Nembara’ (kemarau). Tradisi ini kini mulai jarang peminatnya dikarenakan pergeseran nilai budaya pada masyarakat yang menyebabkan permainan ini dianggap kasar. Juga karena sering kali terjadi carok dan perjudian dalam arena pertandingan.
Seandainya saja dibuat suatu standarisasi dengan safety yang lebih baik dan manajemen yang rapi, sebenarnya bukan tidak mungkin tradisi Ojung ini menjadi primadona kebudayaan dari kecamatan Batuputih Sumenep.
2.3.2.7       Topeng Dhalang
topeng dikatakan sebagai bentuk kesenian yang paling tua, karena topeng pada masa lalu dipergunakan oleh penganut animesme dan Hinduisme ketika mengalami sesuatu yang mengkhawatirkan, seperti ; bencana alam ataupun penyakit.
Pada masa itu topeng digunakan sebagai media untuk berhubungan dengan alam ghaib, dengan para penguasa alam lain, dengan roh-roh nenek moyang. Pementasan Topeng pada jaman itu dimaksudkan agar mampu berdamai sekaligus mengusir roh-roh jahat yang mengganggu kehidupan mereka. Selain ludruk, topeng merupakan bentuk teater rakyat yang paling populer di dataran pulau Madura. Menurut babad Madura yang ditulis pada abad 19, topeng dalang pertama kali dikembangkan pada abad ke-15 di desa Proppo, kerajaan Jambwaringin, Pamekasan pada masa pemerintahan Prabu Menak Senaya. Menurut cerita bahwa Prabu Menak Senaya inilah, yang pertama kali menumbuhkan topeng di wilayah Madura, karena bukti-bukti keberadaan topeng di daerah Proppo banyak diketemukan. Yang dijadikan model pembuatan topeng (tatopong – bahasa Madura) adalah figur tokoh-tokoh pewayangan.
Mengingat hubungan Madura dengan kerajaan Majapahit dan Singosari yang mesra, tak dapat dipungkiri bahwa topeng dalang Madura merupakan kelanjutan dari teater topeng di kedua kerajaan Jawa Timur tersebut. Namun dalam perkembangannya, topeng di Madura menempuh jalan sendiri, lebih-lebih ketika agama Islam mulai masuk ke pulau Madura. Unsur-unsur cerita yang dipentaskan, banyak menyelipkan penjabaran nilai-nilai spiritual dan nilai-nilai moral, nilai filosofi yang berlandaskan ajaran Islam. bentuk-bentuk penggarapan topeng pun mulai dihubungkan dengan hasil modifikasi topeng yang dirancang pada era para wali, terutama dalam hal kesederhanannya.
Pada abad ke-18 topeng dalang yang semula merupakan teater rakyat, kemudian diangkat menjadi kesenian istana. Di dalam lingkungan istana, ragam hias topeng yang sederhana dimodifikasi kembali. Bentuk dan kehalusan ukirannya diperindah, begitu pula dengan seni karawitannya, seni pedalangan sekaligus pemanggungan/pementasan. Sehingga pada masa itu, merupakan masa berkembangnya sastra Madura. Apalagi hubungan antara raja Madura dengan kerajaan Mataram semakin erat, sehingga pengaruh Mataram tak dapat dielakkan lagi.
Perkawinan antara seorang keluarga kerajaan Mataram dengan keluarga Madura, yaitu Pangeran Buwono VII (1830-1850) dengan salah satu putri raja Madura (Bangkalan), semakin mengokohkan jalinan kekeluargaan. Karena mertuanya senang dengan topeng dalang, Paku Buwono VII memberikan hadiah seperangkat topeng lengkap dengan busana dan perlengkapannya. Kehadiran topeng hadiah dari Solo ini sedikit banyak berpengaruh pada seni topeng Madura, terutama kehalusan ukiran-ukirannya.
Pada abad ke-20, setelah kerajaan-kerajaan mulai hilang dari bumi Madura, topeng dalang kembali menjadi kesenian rakyat dan mencapai puncak kesuburannya sampai tahun 1960. hal itu dapat dilihat dari banyaknya group kesenian, banyaknya dalang dan banyaknya pengrajin topeng di berbagai pelosok. Memasuki dekade 1960-an, topeng dalang mengalami masa surut. Hal ini disebabkan banyaknya tokoh-tokoh topeng yang meninggal dunia, sedangkan tokoh-tokoh muda belum muncul dan menguasai seni topeng dalang.
Pada tahun 1970-an topeng dalang kembali bangkit dan itu tidak terlepas dari jasa dalang tua Sabidin (dari Sumenep), yang tetap bertahan dan eksis dalam menggeluti topeng dalang sekaligus mendidik kader-kader muda yang berasal dari beberapa daerah di wilayah Sumenep. Pengkaderan diprioritaskan pada penguasaan materi pedalangan maupun mendidik penari-penari topeng. Kerja keras dalang Sabidin membuahkan hasil, murid-murid hasil didikannya mampu menguasai dan melestarikan kembali seni topeng dalang.
2.3.2.7.1   Karakteristik Topeng Madura
Adapun bentuk topeng yang dikembangkan di Madura, berbeda dengan topeng yang ada di Jawa, Sunda dan Bali. Topeng Madura pada umumnya lebih kecil bentuknya. Kecuali Semar, hampir semua topeng itu diukir pada bagian atas kepala dengan berbagai ragam hias. Ragam hias yang paling populer ialah hiasan bunga melati. Sedangkan untuk tokoh-tokoh penguasa zalim, digunakan ragam hias badge, yaitu lambang yang dipakai para penguasa kolonial Belanda. Selain itu topeng Madura ada dua jenis, satu berukuran seluas telapak tangan, satu lebih besar. Bentuk topeng ini tidak sepenuhnya bisa menutup wajah penari, terutama dagu, maka gerak dagu dalam setiap pementasan tidak dapat disembunyikan, dan ini memberikan nilai estetik tersendiri.
Adapun penggambaran karakter pada topeng Dalang selain nampak pada bentuk muka juga tampak pada pemilihan warna. Untuk tokoh yang berjiwa bersih dan suka berterus terang digunakan warna putih. Sedangkan warna merah, digunakan untuk tokoh-tokoh tenang dan penuh kasih sayang (tokoh Yudistira), hitam untuk tokoh yang arif bijaksana, bersih dari nafsu duniawi (tokoh wayang Krisna). Untuk penggambaran tokoh anggun dan berwibawa, digunakan warna kuning emas (tokoh wayang Subadra). Sedangkan penggambaran tokoh yang pemarah, licik dan sombong memakai warna kuning.
Begitu pula konsep karakter tokoh topeng, setelah menyebar ke berbagai wilayah para dalang memodifikasi sesuai dengan karakter daerah dimana topeng itu tumbuh dan berkembang. Sehingga tidak mengherankan kalau konsep karakter tokoh-tokoh wayang Madura dengan konsep karakter topeng Jawa Tengah agak berbeda. Salah satu contoh adalah, di lingkungan Astina, Suyudana sang Raja, ternyata oleh orang Madura dicitrakan sebagai raja yang lemah lembut, dan topeng nya diberi warna hijau sahdu. Di Jawa Tengah dan Solo, Suyudana adalah raja yang citranya keras dan cenderung kasar.
Ciri khas yang paling spesifik dan unik dari topeng dalang Madura adalah dipakainya ghungseng (giring-giring) dipergelangan kaki penari. Pemakaian gungseng (giring-giring) tersebut bukan hanya sekedar hiasan, bunyi giring-giring yang selalu terdengar setiap kaki penari bergerak menjadi alat bantu yang ekspresif sekaligus menjadi media komunikasi para penari, karena para penari sepatah pun tak boleh berdialog (dialog dilakukan sang dalang, dan tokoh Semar). Di samping itu, ghungseng dipergunakan sebagai kode perubahan gerakan dalam cerita, misalnya bunyi sreng (panjang) berarti aserek, dan bunyi kroncang-kroncang berarti para pemain sedang berjalan. Ghungseng biasanya dikenakan oleh para pemain yang berperan sebagai tokoh antagonis.
Topeng dalang Madura yang dikenakan para pemain, terkesan cukup sederhana, bersahaya dan agak kaku ukirannya, inilah salah satu hal yang membedakan dengan topeng Yogjakarta, Solo, Bali ataupun daerah Jawa lainnya. Barangkali karakteristik topeng Madura, diidentikkan dengan pembawaan dan karakter orang Madura yang terkenal keras, kaku tetapi polos dan jujur.
Adapun dalam setiap pementasan seluruh pemain topeng Dalang serta para penari didominasi pemain laki-laki. Setiap pementasan dibutuhkan penari sebanyak 15 sampai 25 orang dalam setiap lakon, yang dipentaskan semalam suntuk. Adapun aksesoris yang dibutuhkan para pemain meliputi, ; taropong, sapiturung, ghungseng, kalong (kalung) rambut dan badung ; sedangkan untuk pemeran wanita, aksesoris tambahan berupa, sampur, kalung ular, gelang dan jamang.
2.3.2.7.2Topeng Sebagai Media Dakwah
Topeng merupakan bentuk kesenian teater rakyat tradisional yang paling kompleks dan utuh. Hal tersebut disebabkan dalam kesenian topeng mengandung unsur cerita, unsur tari, unsur musik, unsur pedalangan dan unsur kerajinan. Sehingga bentuk kesenian ini, dianggap paling pas untuk digunakan sebagai media dakwah. Oleh para Sunan dan dalang yang inovatif dan kreatif, tokoh-tokoh baru diciptakan dan alur cerita mengalami perubahan, dari cerita yang syarat dengan bobot filsafat dan filosofi Hindu, diganti dengan tokoh-tokoh dan alur cerita yang mengandung bobot nilai-nilai moral dan nilai-nilai filosofi Islami. Tanpa mengubah tema cerita, yaitu pertentangan dan konflik antara tokoh antagonis dan protagonis. Bahwa kebajikan akan selalu menang melawan kebatilan, kebenaran selalu menang melawan kejahatan.
Sebagai media dakwah, kesenian topeng telah menjelajahi hampir semua wilayah nusantara, dan telah mengalami perubahan. Oleh sutradara-sutradara yang kreatif dan inovatif, cerita-cerita baru, tokoh-tokoh baru diciptakan sesuai dengan karakter daerah dimana topeng itu dipentaskan. Sehingga tidak mengherankan, apabila alur cerita dalam pementasan topeng tidak murni lagi menjalankan alur cerita yang bersumber dari kisah Ramayana dan Mahabarata. Melalui tokoh-tokoh yang dimainkan, nilai-nilai keagamaan, nilai-nilai moral ditanamkan kepada para penganutnya. Hal itu dilakukan dengan jalan menciptakan bait-bait, gending-gending maupun jalinan kisah (cerita), yang mengandung nilai-nilai moral, nilai-nilai filosofi Islami.
Sebagai seni pertunjukan rakyat, teater Topeng Dalang dipentaskan untuk memeriahkan berbagai acara, misalnya upacara perkawinan, selamatan desa dan laut, khaul (peringatan yang berhubungan dengan meninggalnya seseorang/tokoh), serta ritual rokat. Adapun kisah-kisah yang dimainkan disesuaikan dengan suasana hajatan. Misalnya ruwatan untuk anak bungsu, mengambil kisah Pandawa Bungsu.
2.3.2.7.3   Prosesi Pertunjukan
Seperti hal nya Ludruk, salah satu jenis kesenian di Jawa Timur, yang mengawali setiap pementasannya dengan “ngremo”, topeng Dalang juga membuka pagelaran dengan penampilan tarian. Dalam setiap pementasan, biasanya yang ditampilkan adalah jenis tarian sakral.
Setelah tari pembukaan, Dalang membuka dengan pemaparan prolog/panorama. Kemudian disusul tembang-tembang Suluk, alunan tembang ini mengantarkan para penonton untuk memasuki inti cerita yang akan dipentaskan. Suluk dan dialog dalam topeng dalang Madura memakai bahasa Madura halus. Untuk suluk pembukaan menggunakan bahasa Jawa kuno, hal ini membuktikan bahwa topeng awalnya berasal dari satu sumber.
Dalam setiap pertunjukan, tokoh utama yang menggerakkan semua pemeran adalah dalang. Ki dalang sebagai pemimpin orkestra gamelan, menyajikan suluk, narasi dan mengucapkan dialog. Dengan suaranya yang lembut, kadang menghentak keras ki dalang memimpin penari-penari yang bergerak di belakang topeng. Semua pemeran lakon/penari tidak berbicara, kecuali Semar. Karena dialog dan nyanyian seluruhnya diucapkan oleh Dalang yang duduk di belakang layar. Pada layar tersebut dibuat lubang kecil, dari lubang berbentuk segi empat inilah Dalang mengisahkan lakon sesuai dengan cerita. Di depan layar, para pemain lakon menyesuaikan dengan gerakan-gerakan tari setiap alur cerita yang dikisahkan Dalang.
Setiap lakon yang dibawakan, selalu sarat dengan gaung cinta, adegan heroik ataupun beragam petuah bermakna filosofis kehidupan yang kental. Ditambah dengan gerak tarian, terangkai dalam gerak yang kompleks. Kadang-kadang gerakan tarinya halus, lemah lembut dan melankonis, lalu berubah kasar, kaku dan sedikit naif, namun dibawakan dengan penuh emosi yang ekspresif. Dalam setiap pementasan, penampilan para penari sangat sederhana, tetapi ekspresif. Sekalipun setiap gerak tari agak naif dan sedikit kaku, tetapi mengandung nilai spiritual yang tinggi. Dan itu merupakan salah satu nilai plus, karena nilai-nilai yang terkandung dalam setiap gerakan masih brilian, bersih dan otentik.
Adapun gerakan/gaya tarian yang dipakai dalam pertunjukan topeng Dalang ada beberapa macam, diantaranya: Tandhang Alos (tari halus), Tandhang baranyak (tari sedang), Tandhang ghalak (tari kasar) dan putri ( gerak penari perempuan). Masing-masing tandhang ini diiringi oleh gending-gending tersendiri. Tandhang Alos diiringi gending-gending Puspawarna, Tallang, Rarari, dan lain-lainnya. Tandhang Baranyak diiringi gending-gending, Calilit, Pedat dan Lembik. Sedangkan tandhang Ghalak diiringi gending-gending Gagak, Pucung, Kwatang Serang dan Gunungsari. Alat-alat musik yang dipakai adalah gamelan, ditambah crek-crek yang dipakai oleh dalang.
Nilai plus pada topeng Dalang Madura adalah suasana dengan nuansa magis yang dibangun oleh bunyi gemerincing gongseng.. Seolah-olah getaran gongseng menyebar ke seluruh arena membentuk suasana yang diperlukan, baik suasana sedih, gembira ataupun tegang. Apalagi ketika penari menghentak-hentakkan kaki, sepanjang pertunjukan tak sepi dari suara ghungseng, apabila disimak memang suara satu dan lainnya memberikan ekspresi tersendiri.
Pada masa lalu, lakon yang dimainkan dalam Topeng Dalang banyak mengambil kisah Panji atau kisah-kisah seperti Damar Wulan. Namun dalam perkembangannya, kisah-kisah yang dipentaskan saat ini banyak mengambil cerita dari epik Ramayana dan Mahabharata, dengan ditambah cerita-cerita carangan yang tokoh-tokohnya tetap merupakan tokoh-tokoh Ramayana atau Mahabharata.
Dalam setiap pementasan kisah Mahabharata lebih sering ditampilkan. Karena kisah-kisah dalam Mahabharata terdapat lebih banyak pertentangan, perseteruan dan konflik. Konflik multi dimensi, dari masalah cinta, perang saudara, perebutan tahta, ideologi maupun pertentangan antara anak dengan orang tua, murid dengan guru, saudara dengan saudara. Konflik-konflik tersebut dibumbui dengan adu kedigdayaan, baik berupa senjata mustika maupun kesaktian yang dimiliki oleh para ksatria.
Sebagai media dakwah, ceritera dalam epik Mahabharata telah dimodifikasi demikian rupa. Tokoh-tokoh dan alur cerita tetap sama. Namun isi maupun filosofinya diubah menjadi cerita yang bernuansa dan bernafaskan nilai-nilai Islam. Hal ini dapat dibuktikan dalam cerita Mustakaweni atau Hilangnya Jimat Kalimosodo. Jimat Kalimosodo adalah sebuah senjata pusaka yang berkekuatan istimewa yang dapat digunakan untuk maksud apa saja sesuai dengan kehendak pemiliknya.
Cerita jimat Kalimosodo adalah asli buatan Demak. Maksudnya ‘ Azimah = Jimat (sesuatu yang bertuah/sakti). Sada = Syahadat (Persaksian, bukti diri), jimat Kalimosodo berarti Azimah Kalimat Syahadah, mempunyai kesaktian luar biasa dan dimiliki oleh keluarga-keluarga yang baik seperti Pandawa. Sedangkan Pandawa Lima, ada yang mengartikan Rukun Islam yang lima, atau Lima Waktu Sholat dan lain-lain.
2.3.2.7.4Teater Tradisional Masyarakat Pinggiran
Teater Topeng Dalang Madura, satu-satunya teater tradisional yang mampu menaikkan pamor seni tradisi. Di era tahun 80 sampai 90-an, topeng Dalang Sumenep (Madura) melanglang buana ke belahan benua, Amerika, Asia dan Eropa. Kota-kota besar dunia yang disinggahi pada waktu itu adalah, kota London, Amsterdam, Belgia, Perancis, Jepang dan New York. Penampilan seni tradisional tersebut ternyata mampu memikat, memukau, meng-hipnotis dan menimbulkan decak kagum para penonton. Begitu hangat sambutan masyarakat internasional terhadap teater tradisional ini.
Sangatlah disayangkan ! Kekaguman yang pernah dibangun oleh para Dalang di masa itu, saat ini mulai pudar. Hal itu disebabkan karena teater Topeng Dalang telah dijauhi oleh para penikmatnya. Kesenian ini lambat laun mulai berkurang, terutama di kalangan masyarakat kota. Hal ini berdasarkan anggapan bahwa teater tradisional ini sudah ketinggalan jaman. Saat ini pementasan topeng Dalang masih sering diundang oleh masyarakat pinggiran, yang masih peduli dan mencintai teater topeng Dalang.
Saat ini masih ada beberapa kelompok komunitas teater Topeng Dalang, kelompok-kelompok ini masih eksis melestarikan topeng Dalang. Baik sebagai komunitas tetap ataupun hanya kelompok insidentil. Kelompok ini menyebar di beberapa wilayah kecamatan, diantaranya desa Slopeng, Dasuk, desa Leggung, Batang-Batang, kecamatan Gapura, kecamatan Kalianget dan kecamatan Kota Sumenep.
2.3.2.8       Topeng Gethak
Tari Topeng Gethak merupakan salah satu tari tradisi kerakyatan yang menjadi bagian dari seni pertunjukan Ludruk Sandur di wilayah Kabupaten Pamekasan - Pulau Madura - Propinsi Jawa Timur - Indonesia.
Pada mulanya tari topeng Gethak tidak dapat dipisahkan dari pertunjukan Ludruk Sandur atau kesenian Sandur.
Kesenian Sandhur merupakan jenis kesenian rakyat yang sangat digemari di Pamekasan Madura, khususnya dikalangan masyarakat pedesaan.  Semua pelosok daerah di Pamekasan mengenal kesenian Sandhur ini menjadikan salah satu jenis hiburan yang memasyarakat dan spesifik,  hal ini dapat dibuktikan dari keberadaan pertunjukan seni Sandhur pada setiap ada pesta perkawinan, khitanan ataupun hajatan lainnya.
kesenian Sandhur menjadi tanggapan sebagai bentuk bukan sekedar hiburan, juga dalam usaha masyarakat melestarikan tradisi yang diminati masyarakat setempat.
Dalam pertunjukan Kesenian Sandhur, terdiri dari 4 macam sajian kesenian yang  membentuk satu reportoar penyajian  yaitu Pajuan (andhongan), Tarian Rondhing, Tari Topeng Klonoan/Getak, dan  seni portunjukan Ludruk Sandhur, yang menjadi sajian utama dari kesenian sajian pertnjukan. Sandhur digelar dalam bentu cerita semalam suntuk. Sedang Tari Topeng Getak merupakan salah satu tarian pembuka dalam suatu sajian Kesenian Sandhur.
Tari Topeng Getak awalnya bernama Tari Klonoan. Tarian ini menggambarkan tokoh Prabu Bolodewo dalam lakon Topeng Dhalang Madura yang ditiru oleh masyarakat awam. Topeng Dhalang Madura  sendiri yang berkembang di Kabupaten Sumenep pada awalnya digelar dikalangan kerator, namun pada proses berikutnya Topeng Dalang banyak ditonton oleh masyarakat secara terbuka. Hal ini dapat dilihat dari sejumlah kelompok atau perkumpulan Topeng Dalang menyebar disejumlah wilayah seperti Kecamatan Kalianget, Bantang-bantang, Dasuk, Ambunten dan lainnya.
Dalam penokohan Prabu Bolodewo, misalnya,  dalam Topeng Dhalang bagi masyarakat merupakan tokoh yang amat sangat dibanggakan. Rasa bangga tersebut diungkapkan melalui ekspresi gerak yang tersusun menjadi tarian. Kata klonoan berasal dari kata kelana atau berkelana, yang bermakna Bolodewo berkelana. Tari Klonoan ini juga sebagai isyarat pembuka sajian Kesenian Sandhur.
Dalam perjalanannya, Tari Klonoan ini berubah nama menjadi Tari Topeng Getak. Perubahan nama ini terjadi sejak Tahun 1980, ketika  Parso Adiyanto masih menjadi mahasiswa Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya jurusan Seni Tari. Pada saat tugas akhir, ia melakukan penelitian kesenian tradisi yang hidup di wilayahnya,.
Dari hasil penelitian diperoleh petunjuk bahwa Tari Klonoan tersebut  gerak-geraknya dan peralihan tiap gerak selalu tergantung pada bunyi kendang yang berbunyi “Ge” dan “Tak”. Bunyi kendang itulah yang mengilhami penciptaan nama Topeng Getak saat itu. Sampai sekarang nama Klonoan tidak lagi digunakan dan berubah menjadi Topeng Getak.
Tari Topeng Getak dalam perjalanannya dari masa ke masa tetap menyatu beriringan  dalam satu sajian Kesenian Sandhur, bahkan seolah-olah tidak lekang karena kepanasan dan tidak lapuk karena kehujanan. Tari Topeng Getak selalu digemari oleh masyarakat di Kabupaten Pamekasan dan bahkan berkembang ke daerah Sampang, Bangkalan dan Sumenep.
Pemerintah Daerah Kabupaten Pamekasan telah menetapkan Tari Topeng Getak sebagai Tari Khas Unggulan Kabupaten Pamekasan. Upaya pelestarian melalui jalur pendidikan formal (sekolah)  memang efektif dari sisi penari Topeng Getak, tapi dari sisi musik pengiring masih mengalami krisis seniman. Sekarang satu demi satu seniman musik pengiring Topeng Getak meninggal dunia. Upaya pengkaderan seniman alat musik tertentu masih bisa dijalankan, namun alat musik yang sangat dominan yaitu Sronen (terompet tradisional) sulit mengkondisikan regenerasinya, untuk itu diperlukan pencarian metoda transformasi permainan alat tiup sronen.
Tarian Topeng Gethak mengandung nilai fisolofis perjuangan warga Pamekasan saat berupaya memperjuangkan kemerdekaan bangsa, Gerakan Tarian Topeng Gethak ini mengandung makna mengumpulkan masa dimainkan oleh satu hingga tiga orang penari. Asal muasal sebelumnya nama tarian ini bernama Tari Klonoan kata klonoan ini berasal dari kata kelana atau berkelana, bermakna Bolodewo berkelana, dan pada akhirnya Tari Klonoan ini Berubah nama menjadi Tari Topeng Gethak.
2.3.2.9       Busana Tradisi Rakyat Madura
Meskipun Madura adalah sebuah pulau yang terpisah dari Pulau Jawa, kebudayaan Jawa dalam arti luas berpengaruh sangat besar dalam berbagai segi kehidupan masyarakat suku bangsa Madura. Oleh karena kebudayaan Madura termasuk dalam daerah kebudayaan Jawa, maka jenis dan bentuk busananyapun memiliki beberapa kesamaan dengan busana dari daerah-daerah lain di Pulau Jawa. Secara umum masyarakat sukubangsa Madura mengenal perbedaan busana berdasarkan usia, jenis kelamin, status sosial maupun kegunaannya, baik sebagai busana sehari-hari maupun untuk keperluan upacara.
Masyarakat umum mengenal pakaian khas Madura, yaitu hitam serba longgar dengan kaos bergaris merah putih atau merah hitam, di dalamnya, lengkap dengan tutup kepala dan kain sarung. Sebenarnya, pakaian yang terdiri dari baju pesa`an dan celana gomboran ini merupakan pakaian pria untuk rakyat kebanyakan, baik sebagai busana sehari-hari maupun sebagai busana resmi. Adanya pengaruh cara berpakaian pelaut dari Eropa, terutama kaos bergaris yang digunakan.
Dalam penggunaannya, baju pesa`an, celana gomboran dan kaos oblong ini memiliki perbedaan fungsi bila dilihat dari cara memakainya. Kalangan pedagang kecil, seringkali mempergunakan baju pesa`an dan kaos oblong warna putih, dipadu dengan sarung motif kotak-kotak biasa. Sebaliknya para nelayan, umumnya hanya menggunkan celana gomboran dengan kaos oblong.
Jaman dahulu, masyarakat mengenal baju pesa`an dalam dua warna, yaitu hitam dan putih. Baju pesa`an biasanya dipakai oleh guru agama atau molang. Pada masa sekarang, baju pesa`an warna hitamlah yang menjadi ciri khas. Warna hitam ini melambangkan keberanian. Sikap gagah dan pantang mundur ini merupakan salah satu etos budaya yang dimiliki masyarakat Madura. Garis-garis tegas merah, putih atau hitam yang terdapat pada kaos yang digunakan pun memperhatikan sikap tegas serta semangat juang yang sangat kuat, dalam menghadapi segala hal.
Bentuk baju yang serba longgar dan pemakaiannya yang terbuka melambangkan sifat kebebasan dan keterbukaan orang Madura. Kesederhanaan bentuk baju ini pun menunjukkan kesederhanaan masyarakatnya, teguh dan keras. Sarung palekat kotak-kotak dengan warna menyolok dan sabuk katemang, ikat pinggang kulit lebar dengan kantong penghimpun uang di depannya adalah perlengkapan lainnya. Terompah atau tropa merupakan alas kaki yang umumnya dipakai.
Berbeda dengan rakyat kebanyakan, kalangan bangsawan biasanya menggunakan rasughan totop (jas tutup) polos dengan samper kembeng (kain panjang) di bagian bawah, secara umum sebagaimana busana Solo dan Yogya. Perbedaannya adalah pada odheng, tutup kepala yang dikenakan. Untuk sehari-hari odheng yang digunakan adalah odheng peredhan dengan motif storjan, bere` songay atau toh biru. Perlengkapan busana seperti sap-osap (sapu tangan), jam saku, jepit kain, stagen, sabuk katemang, dan perhiasan lainnya terutama selo’ (seser) atau cincin geleng akar (gelang dari akar bahar). Arloji rantai acap digunakan. Sebum thongket atau tongkat, termasuk kelengkapan pakaian yang membedakan penampilan dan kewibawaan seorang bangsawan dengan rakyat biasa.
Pada saat menghadiri acara resmi, rasughan totop (busana tertutup) umumnya berwarna hitam digunakan lengkap dengan odheng tongkosan kota, bermotif modang, dul-cendul, garik atau jingga. Odheng pada masyarakat Madura memiliki arti simbolis yang cukup kompleks, baik dari ukuran, motif maupun cara pemakaian. Ukuran odheng tongkosan yang lebih kecil dari kepala, sehingga membuat si pemakai harus sedikit mendongak ke atas agar odheng tetap dapat bertengger di atas kepalanya, mengandung makna “betapapun beratnya beban tugas yang harus dipikul hendaknya diterima dengan lapangan dada”.
Bentuk dan cara memakai odheng juga menunjukkan derajat kebangsawanan seseorang. Semakin tegak kelopak odheng tongkosan, semakin tinggi dewajat kebangsawananan. Semakin miring kelopaknya, maka derajat kebangsawanan semakin rendah. Untuk orang yang sudah sepuh (tua), sayap atau ujung kain dipilin dan tetap terbeber bila si pemakai masih relatif muda. Ikatan odheng juga memiliki arti tertentu. Pada odheng peredhan, pelintiran ujung simpul bagian belakang yang tegak lurus melambangkan huruf alif, yaitu huruf awal dalam bahasa Arab. Sementara itu, pada odheng tongkosan kota, simpul mati di bagian belakang dibentuk menyerupai huruf lam alif, yang merupakan simbol dari kalimat pengakuan akan keesaan Allah.
Kaum wanita Madura umumnya mengenakan kebaya sebagai pakaian sehari-hari maupun pada acara resmi. Kebaya tanpa kutu baru atau kebaya rancongan digunakan oleh masyarakat kebanyakan. Ciri khas kebaya Madura adalah penggunaan kutang polos dengan warna-warna menyolok seperti merah, hijau atau biru terang yang kontras dengan warna dan bahan kebaya yang tipis tembus pandang atau menerawang. Kutang ini ukurannya ketat pas badan. Panjang kutang dengan bukaan depan ini ada yang pendek dan ada pula yang sampai perut.
Keindahan lekuk tubuh si pemakai akan tampak jelas dengan bentuk kebaya rancongan dengan kutang pas badan ini. Hal tersebut merupakan salah satu perwujudan nilai budaya yang hidup di kalangan wanita Madura, yang sangat menghargai keindahan tubuh. Ramuan jamu-jamu Madura diberikan semenjak seorang gadis cilik hendak berangkat remaja. Demikian pula berbagai pantangan makanan yang tidak boleh dilanggar, serta pemakaian penggel. Semuanya dimaksudkan untuk membentuk tubuh yang indah dan padat.
Pilihan warna yang kuat dan menyolok pada masyarakat Madura menunjukkan karakter mereka yang tidak pernah ragu-ragu dalam bertindak, pemberani, serta bersifat terbuka dan terus terang. Oleh karenaitu mereka tidak mengenal warna-warna lembut. Termasuk dalam memilih warna pakaian maupun aksesoris lainnya.
Kebaya dengan panjang tepat di atas pinggang dengan bagian depan berbentuk runcing menyerong khas roncongan Madura, umumnya digunakan bersama sarung batik motif tumpal, namun ada pula yang memakai kain panjang dengan motif tabiruan, storjan atau lasem. Warna dasarnya putih dengan motif didominasi warna merah. Untuk penguat kain digunakan odhet. Odhet adalah semacam stagen Jawa, terbuat dari tenunan bermotif polos, dengan ukuran lebar 15 cm dan panjang sekitar 1,5 meter. Warna biasanya merah, kuning atau hitam. Pada odhet terdapat ponjin atau kempelan, yaitu saku untuk menyimpan uang atau benda berharga lainnya. Alas kaki yang digunakan adalah sandal jepit.
Perhiasan yang dikenakan oleh wanita Madura, mulai dari kepala sampai kaki, juga memiliki daya tarik yang unik. Sebagaimana senjata bagi laki-laki Madura, perhiasanpun menjadi pelengkap yang utama bagi busana kaum wanitanya. Hiasan rambut berupa cucuk sisir dan cucuk dinar, keduanya terbuat dari emas. Bentuknya seperti busur. Cucuk sisir biasanya terdiri dari untaian mata uang emas atau uang talenan dan ukonan. Jumlah untaian mata uang ini tergantung kemampuan si pemakai. Adapun cucuk dinar, terdiri dari beberapa keping mata uang dollar.
Rambut wanita Madura itu sendiri, biasanya disisir ke belakang, kemudian digelung sendhal. Bentuknya agak bulat dan penuh, padat dengan kuncir sisa rambut yang terletak tepat di tengah-tengah rambut. Letak sanggul umumnya agak tinggi. Sementara di daerah Madura Timur, bentuknya agak lonjong dan pipih letaknyapun miring. Hampir sama dengan gelung wanita Bali. Harnal bubut dari emas, bermata selong dengan panjang sekitaar 12 cm berukuran agak lebih besar dari harnal pada umumnya juga dipakai untuk menghiasi rambut. Sebuah tutup kepala, yang terbuat dari handul besar atau kain tebal disebut leng o leng, menjadi ciri tersendiri pada kelengkapan wanita Madura. Perhiasan lain yang umumnya dikenakan sebagai kelengkapan busana adalah anteng atau shentar penthol yang terbuat dari emas, bermotif polos dengan berbentuk bulat utuh sebesar biji jagung. Anteng atau anting ini dikenakan di telinga.
Motif hiasan kalung Madurapun terkenal karena ciri khasnya. Kalung brondong yang berupa rentangan emas berbentuk biji jagung adalah kalung khas Madura yang biasanya dikenakan bersama liontin.
Liontin atau bandul yang digunakan biasanya berbentuk mata uang dollar (dinar) atau bunga matahari. Selain itu masih ada motif pale obi yang menyerupai batang ubi melintir, serta motif mon temon berupa untaian emas berbentuk biji mentimun. Berat kalung itu rata-rata 5-10 gram, namun adapula yang mencapai 100 gram, bahkan lebih. Tergantung kemampuan si pemakai. Sepasang gelang emas di tangan kanan dan kiri dengan motif tebu saeres. berbentuk seperti keratan tebu merupakan kelengkapan lain yang sering dipakai. Sementara sepasang cincin dengan motif yang sama dengan gelang dikenakan sebagai hiasan jari.
Sebagai pelengkap kebaya rancongan, digunakan peniti dinar renteng, terbuat dari emas dan bermotif polos. Semakin banyak jumlah dinarnya, semakin panjang untaiannya berarti semakin tinggi kemampuan ekonomi pemakainya.
Dari seluruh jenis perhiasan yang biasa dikenakan wanita Madura, penggel adalah salah satu yang paling unik. Penggel merupakan hiasan kaki dari emas atau perak yang dipakai pada pergelangan kaki kiri dan kanan.
Penggel adalah simbol kebanggaan wanita Madura. Selain fungsi ekonomi yang juga dapat menunjukkan status ekonomi si pemakai, penggel juga berfungsi untuk membentuk keindahan tubuh wanita Madura. Gelang kaki yang terbuat dari emas atau perak, dengan berat perak ada yang mencapai 3 kg, aapabila digunakan untuk berjalan dan melakukan aktivitas sehari-hari tentunya akan menguatkan otot-otot tertentu.
Berbeda dengan yang dikenakan rakyat kebanyakan, wanita bangsawan tidak menonjolkan kekayaannya melalui bentukbentuk perhiasan yang menyolok dan cenderung berat. Bentuk perhiasan yang digunakan untuk rambut, telinga, leher, tangan dan kaki umumnya kecil. Namun, lebih banyak dihiasi intan atau berlian.
Untuk acara resmi wanita bangsawan Madura mengenakan kebaya panjang dengan kain batik tulis Jawa atau khas Madura. Alas kakinya berupa selop tutup. Bahan kebaya biasanya beludru. Warna gelap dan tidak bermotif. Ujung bawah kebaya berbentuk bulat. Peniti cecek atau pako malang adalah hiasan kebaya berbentuk paku yang melintang bersusun tiga dan dihubungkan dengan rantai emas.
Rambut wanita muda digelung malang. Bentuknya seperti angka delapan melintang yang melambangkan tulisan Allah. di dalamnya diberi potongan daun pandan sebagai penguat. Untuk wanita yang sudah berumur dan berpangkat, digunakan gelung mager sereh. Bentuknya sama dengan gelung malang, tetapi semua ukelnya diisi kembang tanjung dan kembang pandan. Hiasan rambut terdiri dari cucuk emas dengan motif ular atau bunga matahari, dilengkapi dengan karang melok dan duwek remek, yaitu hiasan dari bunga-bungaan.
Giwang kerambu dan kalung rantai berliontin markis yang terbuat dari emas bertaburan berlian juga dikenakan. Demikian pula gelang tangan dan hiasan jari berupa cincin emas bermata berlian.
Selain busana dan perhiasan khas wanita Madura, baik dari kalangan bangsawan maupun rakyat biasa, tatarias wajah wanita Madura pun cukup unik. Wajah dihiasi dengan jimpit di bagian kening kanan, kiri atau dahi. Tempat yang dijimpit disebut leng pelengan. Dahulu leng pelengan dibuat dengan cubitan tangan. Saat ini, kebanyakan berupan olesan alat kosmetik berupa garis membujur sekitar 1-2 cm dan berwarna merah. Mata dihiasi dengan celak Arab, sedangkan gigi dihiasi dengan apa egan, berupa lapisan gigi yang terbuat dari emas atau platina.
2.3.2.10   Tari Gambuh Pamungkas
Tari Gambhuh berkembang di Kabupaten Sumenep Madura, yaitu reportoar tari yang menggambarkan peristiwa pertempuran keprajuritan. Para penari menggunakan property dalam bentuk tameng kecil yang dikenakan pada punggung tangan, pada tameng tersebut dihias ornamen yang terbuat dari bahan cermin, cermin yang memantulkan sinar ini sebagai salah satu senjata untuk melindungi diri dari serangan musuh serta untuk membantu mengelabuhi pandangan musuh. Dalam penyajian tari Gambhuh diperagakan oleh empat penari laki-laki dalam posisi di empat titik sudut.
Sedang komposisi penari yang dimainkan oleh empat penari tersebut berdasarkan empat kiblat yaitu gambaran empat arah mata angin, barat-timur-utara-selatan, sedangkan di bagian tengah merupakan titik bayangan yang disebut sebagai titik kelima yang tidak ada penarinya tetapi perlu diketahui oleh para penari bahwa di titik bayangan tersebut sebagai mata hati, komposisi ini disebut sebagai keblat papat lima pancer, yang disebut pancer adalah titik bayangan yang ada di tengah
Teknik pernafasan yang digunakan oleh para penari menggunakan pernafasan 1-1 yang dilakukan dengan cara menghirup udara melalui salah satu sisi lubang hidung, ditampung di perut kemudian dihembuskan melalui sisi lubang hidung lainnya.   Pengaturan nafas ini diuapayakan bisa mengalir dengan sendirinya secara alami mengikuti gerak tubuh dengan tanpa paksaan.
Lintasan penari yang selalu dilakukan kearah kanan merupakan simbol perputaran bumi serta simbol dari perjalanan darah pada tubuh manusia, sedangkan gerakan kaki lebih dominan pada  perpindahan telapak kaki bergerak merapat lantai, hal ini dilakukan sebagai transformasi energi bumi kedalam tubuh manusia.
Dalam pertunjukan Topeng Dalang tari Gambhuh ini disajikan pada bagian awal, yaitu sebagai pembuka sebelum cerita yang digelar pada Topeng Dalang. Tata busana terdiri dari celana-sembong-stagen-sabuk timang- kace-polsdeker-klat bahu-ikat kepala-gungseng-keris-tameng kecil berdiameter kurang lebih 15 centimeter.
Dalam tata busana tersebut ada semacam hiasan kain yang diselipkan pada stagen berwarna putih-merah-hijau-kuning.  Putih sebagai simbol kesucian, merah sebagai simbol keberanian, hijau sebagai simbol kesuburan, kuning sebagai simbol ketulusan.
Dalam perkembangannya yaitu sekitra tahun 1990-an Seniman tari Sumenep pernah menggarap tari Gambhuh dengan menggunakan senjata keris serta diinterpretasikan sebagai tarian penyambutan tamu di keraton Sumenep.  Namun pada priode selanjutnya yaitu sekitar dekade tahun 2000-an penggarapan tari Gambhuh  mulai berkembang dalam bentuk yang lain yaitu dengan nama Gambhuh Pamungkas yang lebih mengacu pada upaya mencari model penyajian yang lain dari sebelumnya.
Data tentang Tari Gambhuh Pamungkas masih berupa arsip pribadi seniman dan pemerintah daerah setempat, belum tersebar di lingkungan luar seniman maupun di lembaga Pendidikan, dan belum tersedia dalam bentuk buku ajar menunjang pembelajaran tersebut sangat dibutuhkan adanya”
2.3.2.10.1    Sejarah Tari Gambhuh Pamungkas
Pada awalnya tari Gambhuhlebih dikenal dengan Tari keris, dalam catatan Serat Pararaton tari Gambhuhdisebut dengan Tari Silat Sudukan Dhuwung, yang diciptakan oleh Arya Wiraraja dan diajarkan pada para pengikut Raden Wijaya kala mengungsi di keraton Sumenep. Tarian tersebut pernah ditampilkan di keraton Daha oleh para pengikut Raden Wijaya pada perayaan Wuku Galungan yang dilaksanakan oleh Raja Jayakatong dalam suatu acara pasasraman di Manguntur Keraton Daha yang selalu dilaksanakan setiap akhir tahun pada Wuku Galungan. Para pengikut Raden Wijaya antara lain Lembusora, Ranggalawe dan Nambi diadu dengan para Senopati Daha yakni Kebo Mundarang, Mahesa Rubuh dan Pangelet, dan kemenangan berada pada pengikut Rade Wijaya.
Tari Keris ciptaan Arya Wiraraja ini lama sekali tidak diatraksikan. Pada masa kerajaan Mataram Islam di Jawa yakni pada pemerintahan Raden Mas Rangsang Panembahan AGUNG Prabu Pandita Cakrakusuma Senapati ing Alaga Khalifatullah (Sultan Mataram 1613-1645), seorang Raja yang sangat peduli dengan seni dan budaya. Maka kala itu Sumenep diperintah oleh seorang Adipati kerabat Sultan Agung yang bernama Pangeran Anggadipa tarian tersebut dihidupkan kembali sekitar tahun 1630, diberi nama “Kambuh” dalam bahasa Jawa berarti “terulang kembali” dan sampai detik ini terus diberi nama Kambuh dan lama kelamaan berubah istilah menjadi tari Gambhuh











 

BAB III
PENUTUP
3.1    Simpulan
              Budaya adalah suatu warisan dari leluhur atau nenek moyang kita yang tidak ternilai harganya. Indonesia merupakan negara yang menjunjung tinggi Bhinika Tunggal Ika, negara yang sangat kaya dan unik dengan beragam suku bangsanya. Termasuk suku Madura, pulau yang terletak di sebelah timur laut Jawa  ini memiliki kebudayaan yang beraneka ragam dan kearifan lokalnya.
Walaupun pulau Madura dikenal dengan daerah yang kering dan tandus, tetapi memiliki tingkat populasi yang cukup tinggi. Kerasnya keadaan alam tersebut dapat diimbangi dengan kerja keras dan solidaritas kerja yang tinggi antar sesama. Masyarakat Madura sangat dipengaruhi oleh kondisi alam yang kurang menguntungkan secara geografis, sehingga sebagian masyarakat Madura yang masih dilingkupi oleh faktor-faktor tersebut mempunyai kecenderungan berkarakter keras. Namun, pada sisi lain banyak sifat-sifat positif yang dipunyai orang Madura, yaitu: suka bekerja keras, ulet, pemberani, dan mempunyai solidaritas yang tinggi.
Untuk bahasa, masyarakat madura menggunakan bahasa madura sebagai bahasa daerahnya. Dalam bahasa Madura terdapat lima dialek, yaitu: Dialek Bangkalan, Dialek Sampang, Dialek Pamekasan, Dialek Sumenep, dan Dialek Kangean. Kebudayaan Madura juga sangat beragam, seperti: karapan sapi, mamaca, mamapar gigi, tandha’, tan-pangantanan, ojhung, topeng dhalang, topeng gethak, dusana tradisi rakyat Madura, dan gambuh pamungkas. Kebudayaan madura tidak saja sebatas itu, namun karena terbatasnya jangkauan litelatur, waktu, dan tenaga, maka penulis hanya menyebutkan sebagian kecil dari kebudayaan Madura.




DAFTAR PUSTAKA
Mien, A. 2007. Manusia Madura: Pembawaan, Perilaku, Etos Kerja, Penampilan, dan Pandangan Hidupnya seperti yang Dicitrakan Peribahasanya. Yogyakarta : Pilar Media

A. Latief Wiyata. 2013. Mencari Madura. Jakarta : Bidik-Phronesis Publishing

Abdul Latief Wiyata. 2002. Carok, Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang  Madura. Yogyakarta : LKIS

Subarianto, Andang. 2004. Tantangan Industrialisasi Madura. Malang : Banyumedia publishing

Irwan.Abdullah. 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta : Pustaka pelajar






 


Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer