Ragam Budaya Madura
MAKALAH
RAGAM BUDAYA MADURA
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Pengganti
Ospek Omputra Night In Slopeng Mahasiswa Baru 2016

Oleh:
Agustin Suwignyo Putri
NIM : 160611100035
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
2016

PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Budaya adalah suatu warisan dari
leluhur atau nenek moyang kita yang tidak ternilai harganya. Berbicara
mengenai ragam budaya Indonesia memang sangatlah
banyak, mulai dari sabang sampai merauke. Indonesia
adalah negara yang sangat kaya dan unik dengan beragam suku bangsanya,
sebagaimana tersirat dalam Bhinika Tunggal Ika. Kebudayaan lama
atau yang sering disebut kebudayaan asli bangsa Indonesia, dimana kebudayaan
ini belum terjamah oleh kebudayaan asing, harus tetap kita pertahankan karena
ini merupakan suatu kebanggaan dan kekayaan bangsa.
Dari sekian banyak budaya yang ada di Indonesia salah
satunya adalah kebudayaan Madura. Pulau yang
terletak di sebelah timur laut Jawa ini memiliki kebudayaan yang
menarik. Banyak yang berpendapat masyarakat Madura itu unik, estetis, dan
agamis. Dapat dibuktikan dari banyaknya masjid-masjid megah berdiri di Madura,
namun ada pula seglintir masyarakat yang masih mempercayai kekuatan magis
dengan melakukan berbagai macam ritual. Salah satu bentuk kepercayaan terhadap
hal yang berbau magis seperti mengkramatkan benda pusaka dan melakukan ritual Pethik Laut atau Rokat Tasse.
Untuk bahasa, masyarakat Madura memiliki bahasa
daerahnya sendiri. Bahasa Madura hampir mirip dengan bahasa-bahasa daerah lain
di Indonesia, hal ini dikarenakan bahasa Madura banyak terpengaruh oleh bahasa
Jawa, Melayu, Bugis, dan Tionghoa. Pengaruh bahasa Jawa sangat terasa dalam
bentuk sistem hierarki berbahasa
sebagai akibat pendudukan Kerajaan Mataram atas Pulau Madura pada masa lampau.
Di Madura sendiri terdapat beberapa dialek seperti dialek Bangkalan, Sumenep,
Sampang, Pamekasan, dan Kangean. Madura juga memiliki berbagai kesenian
tradisional yang menarik seperti karapan sapi, topeng, keris, batik, celurit,
kleles, tuk tuk, dan lain sebagainya.
1.2.
Permasalahan
1.2.1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar
belakang yang tertuang dalam bahasan 1.1 dimungkinkan muncul permasalahan
seputar karakter masyarakat Madura, bahasa yang digunakan oleh masyarakat
Madura, budaya-budaya tradisional yang terdapat di Madura.
1.2.2. Pembatasan Masalah
Mengingat terbatasnya jangkauan litelatur, waktu, dan tenaga, perlu
dilakukan pembatasan masalah. Berdasarkan identifikasi masalah diatas, penulis
hanya mengambil beberapa permasalahan saja. Diharapkan pernyataan yang belum
terjawab dapat menjadi dorongan bagi penulis selanjutnya.
1.2.3. Perumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang masalah diatas, maka rumusan
masalah yang dikemukakan dalam
makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana karakter masyarakat Madura?
2. Bahasa apakah yang digunakan oleh masyarakat
Madura?
3. Keanekaragaman budaya tradisional apa saja yang
terdapat di Madura?
1.3.
Tujuan
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis dapat menentukan tujuan
makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui karakter masyarakat Madura.
2. Untuk mengetahui bahasa yang digunakan oleh
masyarakat Madura
3. Untuk mengetahui keanekaragaman budaya tradisional
yang dimiliki Madura.
1.4. Manfaat
1. Manfaat
Teoritis : Memberikan pengetahuan dan penjelasan kepada pembaca tentang bahasa
yang digunakan oleh masyarakat Madura, budaya-budaya tradisional yang terdapat
di Madura, mengetahui karakter masyarakat Madura.
2. Manfaat Praktis.
a)
Bagi masyarakat, sebagai pengetahuan kepada masyarakat tentang bahasa yang
digunakan oleh masyarakat Madura, budaya-budaya tradisional yang terdapat di
Madura, mengetahui karakter masyarakat Madura.
b)
Bagi kalangan akademisi, sebagai penambahan referensi atau pengetahuan-pengetahuan
tentang bahasa yang digunakan oleh masyarakat Madura, budaya-budaya tradisional
yang terdapat di Madura, mengetahui karakter masyarakat Madura.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Identitas Madura
2.1.1
Pengertian Identitas
Secara epistimologi, kata
identitas berasal dari kata identity,
yang berarti (1) kondisi atau kenyataan tentang sesuatu yang sama, suatu
keadaan yang mirip satu sama lain; (2) kondisi atau fakta tentang sesuatu yang
sama diantara dua orang atau dua benda; (3) kondisi atau fakta yang
menggambarkan sesuatu yang sama diantara dua orang (individualitas) atau dua
kelompok atau benda; (4) Pada tataran teknis, pengertian epistimologi diatas
hanya sekedar menunjukkan tentang suatu kebiasaan untuk memahami identitas
dengan kata “identik”, misalnya
menyatakan bahwa “sesuatu” itu mirip satu dengan yang lain.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa Identitas adalah
simbolisasi ciri khas yang mengandung diferensiasi dan mewakili citra
organisasi. Identitas dapat berasal dari sejarah, filosofi atau visi atau
cita-cita, misi atau fungsi, tujuan, strategi atau program. Unsur umum
identitas antara lain adalah: (1) Nama, logo, slogan dan maskot, (2) Sistem
grafis dan elemen visual yang standar: warna, gambar, bentuk huruf dan tata
letak. (3) Aplikasi pada media resmi (official) dan media komunikasi, publikasi
dan promosi (komersial).
Identitas dibagi menjadi tiga bentuk yaitu: identitas budaya, identitas
sosial, dan identitas diri atau pribadi.
1.
Identitas Budaya
Identitas budaya merupakan ciri yang muncul karena seseorang itu merupakan
anggota dari sebuah kelompok etnik tertentu, itu meliputi pembelajaran tentang
dan penerimaan tradisi, sifat bawaan, bahasa, agama, dan keturunan dari suatu
kebudayaan.
2.
Identitas Sosial
Pengertian identitas harus berdasarkan pada pemahaman tindakan manusia
dalam konteks sosialnya. Identitas sosial adalah persamaan dan perbedaan, soal
personal dan sosial, soal apa yang kamu miliki secara bersama-sama dengan
beberapa orang dan apa yang membedakanmu dengan orang lain. Ketika kita
membicarakan identitas di situ juga kita membicarakan kelompok.
Kelompok sosial adalah suatu sistem
sosial yang terdiri dari sejumlah orang yang berinteraksi satu sama lain dan
terlibat dalam satu kegiatan bersama atau sejumlah orang yang mengadakan
hubungan tatap muka secara berkala karena mempunyai tujuan dan sikap bersama.
Tindakan-tindakan yang dilakukan disesuaikan dengan kedudukan (status) dan
peranan (role) masing-masing dan
antara orang-orang itu terdapat rasa ketergantungan satu sama lain.
Berdasarkan pengertian tersebut kelompok sosial dapat dibagi menjadi
beberapa, antara lain: Kelompok Primer adalah kelompok yang didalamnya terjadi
interaksi sosial yang anggotanya saling mengenal dekat dan berhubungan erat
dalam kehidupan.
Identitas sosial secara umum
dipandang sebagai analisa tentang hubungan-hubungan antar kategori sosial dalam
skala besar selain itu identitas sosial juga diartikan sebagai proses
pembentukan konsepsi kognitif kelompok sosial dan anggota kelompok.
Lebih sederhana lagi identitas sosial adalah kesadaran diri secara khusus
diberikan kepada hubungan anatar kelompok dan hubungan antar individu dalam
kelompok.

3. Identitas
Diri
Identitas umumnya dimengerti
sebagai suatu kesadaran akan kesatuan dan kesinambungan pribadi, suatu kesatuan
unik yang memelihara kesinambungan arti masa lampaunya sendiri bagi diri sendiri
dan orang lain.
Kesatuan dan kesinambungan yang
mengintegrasikan semua gambaran diri, baik yang diterima dari orang lain maupun
yang diimajinasikan sendiri tentang apa dan siapa dirinya serta apa yang dapat
dibuatnya dalam hubungan dengan diri sendiri dan orang lain.
Identitas diri seseorang juga dapat dipahami
sebagai keseluruhan ciri-ciri fisik, disposisi yang dianut dan diyakininya
serta daya-daya kemampuan yang dimilikinya. Kesemuanya merupakan kekhasan yang
membedakan orang tersebut dari orang lain dan sekaligus merupakan integrasi
tahap-tahap perkembangan yang telah dilalui sebelumnya.
Identitas personal didasarkan
pada keunikan karakteristik pribadi seseorang. Perikalu budaya, suara,
gerak-gerik anggota tubuh, warna pakaian, dan guntingan rambut menunjukkan ciri
khas seseorang yang tidak dimiliki seseorang.
2.1.2
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Identitas
2.1.2.1.
Terbentuknya Identitas
Secara teoritis pembentukan
identitas merupakan pemberian makna dari (self-meaning)
yang ditampilkan dalam relasi antarmanusia. Identitas
budaya dikembangkan melalui proses yang meliputi
beberapa tahap antara lain:
1.
Identitaas Budaya Yang Tak
Disengaja
Pada tahap ini, identitas budaya terbentuk secara tidak disengaja atau
tidak disadari. Individu terpengaruh oleh tampilan budaya dominan hanya karena
individu merasa budaya milik individu kurang akomodatif, lalu individu tersebut
ikut-ikutan membentuk identitas baru.
2.
Pencarian Identitas Budaya
Pencarian identitas budaya meliputi sebuah proses penjajakan, bertanya, dan
uji coba atas sebuah identitas lain. Agak berbeda dengan identitas yang
diwariskan dan dipelajari oleh generasi berikutnya secara tanpa sadar, cultural identity search membutuhkan
proses pencarian identitas budaya, pelacakan, dan pembelajaran budaya.
3.
Identitas Budaya Yang Diperoleh
Yang selanjutnya adalah cultural
identity achievement, yaitu sebuah identitas yang dicirikan oleh kejelasan
dan keyakinan terhadap penerimaan diri individu melalui internalisasi
kebudayaan sehingga budaya tersebut membentuk identitas individu.
4. Konformasi: Internalisasi
Proses pemenntukan identitas dapat diperoleh
melalui internalisasi yang membentuk konformasi. Jadi proses internalisasi
berfungsi untuk membuat norma-norma yang individu miliki menjadi sama
(konformasi) dengan norma-norma yang dominan, atau membuat norma yang individu miliki
berasimilasi kedalam kultur dominan. Ditahap inilah makin banyak orang melihat
dirinya melalui lensa dari kultur dominan dam bukan dari kultur asal.
5. Resistensi dan Separatisme

6. Integrasi
Pembentukan identitas dapat dilakukan melalui
integrasi budaya, dimana seseorang atau sekelompok orang mengembangkan
identitas baru yang merupakan hasil dari integrasi pelbagai budaya dari
komunikasi atau masyarakat asal.
2.1.2.2.
Perubahan Kebudayaan
Dalam membahas perubahan suatu kebudayaan, beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam menurut Sugeng Pujileksono yakni:
1.
Diferensiasi
Suatu kolektivitas atau kelompok terbagi atas dua struktur, suatu proses
pembagian dua. Suatu contoh adalah pemisahan antara pabrik dan rumah tangga
selama masa revolusi industri. Dalam sistim domestik produksi tekstilterjadi
dalam rumah tangga dan dilakukan oleh anggota keluarga, tetapi systim industri
memindahkan pekerjaan ini ke dalam pabrik.
Kini industri,
biasanya laki-laki, termasuk dalam dua kolektivitas, yakni kolektivitas kerabat
dan organisasiproduksi. Jika diferensiasi benar-benar bersifat evulusioner, maka diferensiasi harus
menghasilkan perbaikan adaptif.
2.
Perbaikan Adaptif.
Masyarakat
menjalankan kontrol yang lebih besar atas lingkungannya karena setap
kolektivitas dapat berfungsi lebih baik daripada sebelum diferensiasi itu
terjadi.
3. Integrasi

4.
Generalisasi
Menggabungkan
apa yang di konsepsikan Durkheim sebagai pertumbuhan solidaritas organik.
Struktur baru yang memisahkan dari matriks yang terorganisasi secara lebih
difus dibawa dalam makna sistem nilai masyarakat dan membuatnya abash.
Nilai-nilai tersebut diterapkan pada kolektivitas baru, yang ditafsirkan
sebagai spesifikasi dari nilai-nilai tersebut. Oleh sebab itu nilai-nilai
tersebut disebut lebih abstrak dan umum.
5.
Penemuan Baru (Invention).
Mengacu pada
penemuan cara kerja, alat atau prinsip baru oleh seorang individu yang kemudian
diterima oleh orang-orang lain dan dengan demikian menjadi milik masyarakat.
6.
Difusi Kebudayaan.
Difusi
Kebudayaan adalah penyebaran adat atau kebiasaan diri kebudayaan dari
kebudayaan yang satu ke kebudayaan yang lain. Proses difusi kebudayaan
dikarenakan oleh beberapa sebab, diantaranya adalah proses migrasi oleh
kelompok-kelompok manusia, adanya individu- individu yang membawa unsure-unsur
kebudayaan kedalam masyarakat serta adanya pertemuan antara individu-individu
dalam suatu kelompok manusia.
7. HilangnyaUnsur Kebudayaan.

8. Akulturasi.
Akulturasi budaya terjadi apabila terdapat
pertemuan individu-individu dari kelompok budaya yang berbeda dan saling
berhubungan secara intensif, sehingga menimbulkan perubahan-perubahan besar
pada pola kebudayaan dari salah satu atau kedua kebudayaan yang bersangkutan.
9. Perubahan Secara Paksa.
Bentuk-bentuk perubahan kebudayaan secara paksa
adalah kolonialisme dan penaklikan; pemberontakan dan revolusi. Kolonialisme
dan penaklukan biasanya ditandai oleh kemenangan militer Negara
penjajah/penaklukan dan pemindahtanganan kekuasaan politik tradisional ketangan
colonial atau penakluk.
Sedangkan pemberontakan dan revolusi muncul karena
kondisi-kondisi yang dianggap kurang menguntungkan bagi sebagian masyarakat,
kondisi yang dimaksut bias berupa ketidakadilan dalam distribusai (kekayaan
atau material dan kekuasaan), munculnya perasaan benci pada kelompok yang
dianggap sebagai penindas dan hilangnya kepercayaan penguasa.
10. Modernisasi
odernitas
adalah sebuah proses kebudayaan dari tradisional menuju modern, modernitas
merupakan perubahan ciltural dan sosio-ekonomis dimana masyarakat-masyarakat
sedang berkembang memperoleh sebagian karakteristik dari masyarakat industry
barat.
2.1.3
Karakter Masyarakat Madura
Budaya Madura dilihat dari sejarah dan perkembangannya dengan kebudayaan
jawa telah memiliki pertalian erat dari berbagai unsur kebudayaan dan oleh
karena itu budaya Madura banyak dipengaruhi oleh kebudayaan jawa. Disisi lain,
masyarakat Madura dipandang dengan konotasi negatif karena mempunyai
karakteristik yang keras, misalnya: fanatik, cepat marah, dan masih memiliki
kecurigaan yang tinggi.
Hal tersebut sangat beralasan,
karena masyarakat Madura sangat dipengaruhi oleh kondisi alam yang kurang
menguntungkan secara geografis, metode berfikir, dan jenis pekerjaannya yang
lebih banyak mengutamakan fisik. Sehingga masyarakat Madura yang masih
dilingkupi oleh faktor-faktor tersebut mempunyai kecenderungan berkarakter
keras.
Ada sebuah semboyan dalam masyarakat Madura yang memiliki karakter keras
yaitu: “lebih baik putih mata, daripada putih tulang” artinya lebih baik mati
dari pada menanggung rasa malu. Namun, pada sisi lain banyak sifat-sifat
positif yang dipunyai orang Madura, yaitu: suka bekerja keras, ulet, pemberani,
dan mempunyai solidaritas yang tinggi.
Pulau Madura terletak disebelah timur laut pulau Jawa, pada titik 7° garis
Lintang Utara / 112° - 114° Bujur Timur. Panjang pulau Madura kurang lebih 190
km. luas seluruhnya ± 5.305 km², dan banyak pulau kecil di sekitarnya. Pulau
Madura sebelah selatan berbatasan dengan selat Madura, sebelah barat dengan
selat Madura, sebelah utara di batasi dengan laut Jawa dan sebelah timur
dibatasi oleh laut Makasar dan Bali.
Sebagian besar
penduduk Madura masih tinggal di daerah pedesaan yang bermata pencaharian
sebagai petani, sedangkan penduduk yang berada di daerah pesisir umumnya
mempunyai mata pencaharian
sebagai nelayan.
Walaupun pulau Madura dikenal
dengan daerah yang kering dan tandus, tetapi memiliki tingkat populasi yang
cukup tinggi. Kerasnya keadaan alam tersebut dapat diimbangi dengan kerja keras
dan solidaritas kerja yang tinggi antar sesama. Salah satu daerah yang ada di
Madura yaitu Bangkalan. Kabupaten Bangkalan terletak pada ketinggian 2,49 meter
diatas permukaan laut, dua per tiga bagian daratan terdiri dari pegunungan dan
perbukitan.
Sehingga di Bangkalan yang
sebagian besar lahan pertanian khususnya tanaman pangan adalah lahan kering
yang digunakan sebagai daerah sentra palawija, sedangkan daerah sentra produksi
padi umumnya di daerah pesisir seper ti kecamatan modung, kwanyar, kamal dan
socah. Hasil tanaman yang utama adalah jagung dan padi dan dipergunakan untuk
konsumsi rumah tangga sendiri, sedangkan hasil tanaman lainnya dijual.
Selain itu masyarakat Madura
umumnya dan Bangkalan khususnya dalam menghadapi tantangan alam yang
sedemikian, mereka mempunyai alternatif lain dengan cara mencari penghidupan
diluar pertanian, perdagangan, dan nelayan yaitu dengan migrasi ke pulau lain.
Pola pikir masyarakat Madura
dalam pembentukan watak, perasaan dan pemikiran sangat dipengaruhi oleh proses
sosialisasi dalam kehidupan di lingkungannya. Dalam budaya Madura rasa hormat
dan patuh pada orang yang lebih tua lebih di tonjolkan. Kondisi sosio kultural
masyarakat Madura yang terungkap dalam filosofinya, bupa, babu, guru, rato.
alam budaya orang Madura, filosofi tersebut merupakan bentuk penghormatan
yang harus diberikan kepada kedua orang tua atau “bupa’, dan babu”, dan juga
kepada “guru” dan ‘rato’. ‘Guru’yang dimaksud umumnya para kyai dan alim ulama
yang mengajarkan tentang ilmu pengetahuan agama, keimanan, dan ketaqwaan.
Sementara “rato” adalah penguassa pemerintahan.
Dalam kehidupan masyarakat Madura
yang dilakukan lebih banyak pada penyesuaian pandangan agama dan adapt. Seperti
perhitungan waktu berdasarkan bintang untuk kepentingan pertanian dan
palayaran. Dan untuk mengadakan hajatan atau upacara saat masih dilakukan
dengan mencari waktu yang baik. Sikap hidup falsafah dan pola pikir membuahkan
kegiatan-kegiatan budaya yang akhirnya menjadi tradisi dalam proses sosialisasi
kehidupan. Setiap orang dalam masyarakat yang mengalami perubahan fundamental
dalam hidupnya biasanya dan lazim mengadakan upacara selamatan agar perubahan
itu mendapatkan keberkahan.
2.2.
Bahasa Masyarakat Madura
Bahasa Madura
adalah bahasa yang digunakan Suku Madura. Bahasa Madura mempunyai penutur
kurang lebih 14 juta orang, dan terpusat di Pulau Madura,
Ujung Timur Pulau Jawa atau di kawasan yang disebut kawasan Tapal Kuda
terbentang dari Pasuruan, Surabaya, Malang, sampai Banyuwangi, Kepulauan
Masalembo, hingga Pulau Kalimantan. Bahasa
Kangean, walau serumpun, dianggap bahasa tersendiri.
Di
Pulau Kalimantan, masyarakat Madura terpusat di kawasan Sambas, Pontianak,
Bengkayang dan Ketapang, Kalimantan
Barat, sedangkan di Kalimantan
Tengah mereka berkonsentrasi di daerah Kotawaringin Timur,
Palangkaraya dan Kapuas. Namun kebanyakan generasi muda Madura di kawasan ini
sudah hilang penguasaan terhadap bahasa ibu mereka.
2.2.1.
Kosakata Bahasa Madura

Pengaruh
bahasa Jawa sangat terasa dalam bentuk sistem hierarki berbahasa sebagai akibat
pendudukan Mataram atas Pulau Madura. Banyak juga kata-kata dalam bahasa ini
yang berakar dari bahasa Indonesia atau Melayu bahkan dengan Minangkabau, tetapi sudah tentu dengan lafal
yang berbeda. Contoh :
2. orèng
= orang
3. tadhâ'
= tidak ada (hampir sama dengan kata tadak dalam Melayu Pontianak)
4. dhimma
(baca: dimmah) = mana? (hampir serupa dengan dima di Minangkabau)
5. tanya
= sama dengan tanya
6. cakalan
= tongkol (hampir mirip dengan kata Bugis : cakalang tapi tidak
sengau)
7. onggu
= sungguh, benar (dari kata sungguh)
8. Kamma
(baca: kammah mirip dengan kata kama di Minangkabau)= kemana?
2.2.2. Sistem
Pengucapan
Bahasa
Madura mempunyai sistem pelafalan yang unik. Begitu uniknya sehingga orang luar
Madura yang berusaha mempelajarinyapun mengalami kesulitan, khususnya dari segi
pelafalan tadi. Bahasa
Madura mempunyai lafal sentak dan ditekan terutama pada konsonan [b], [d], [j], [g], jh,
dh dan bh atau pada konsonan rangkap seperti jj, dd
dan bb . Namun penekanan ini sering terjadi pada suku kata bagian
tengah. Sedangkan
untuk sistem vokal, Bahasa Madura mengenal vokal [a], [i], [u], [e], [ə] dan [o].
2.2.3. ingkatan Bahasa
Bahasa Madura sebagaimana
bahasa-bahasa di kawasan Jawa dan Bali juga mengenal Tingkatan-tingkatan, namun
agak berbeda karena hanya terbagi atas tiga tingkat yakni:
1.
Ja' - iya (sama dengan ngoko)
2.
'Èngghi-Enthen (sama dengan
Madya)
3.
Èngghi-Bunthen (sama dengan Krama)
Bahasa Madura memiliki karakter khusus terutama
dalam kosakatanya yang banyak mengenal bunyi “letup” seperti kata saba’
(meletakkan) dan lagghu’ (besok). Karakter khusus yang lain adalah
banyaknya konsonan yang muncul dalam sebuah kata semisal lebbhak (muara)
dan bhajjrah (mujur).
Dua keunikan ini menjadikan bahasa Madura berbeda
dengan bahasa daerah lainnya. Apabila seseorang yang berasal dari suku bangsa
lain mempelajari bahasa Madura, pada mulanya mungkin dia akan mendapati
hambatan yang berhubungan dengan dua karakter tadi. Namun sisi positifnya,
karena keunikan bahasa Madura inilah, sebuah kosakata dalam bahasa Madura
apabila telah diingat dan dipahami maknanya tidak akan pernah dapat dilupakan
oleh orang yang belajar bahasa Madura tersebut.

Resminya bahasa Madura menjadi bahasa yang
wajib dipelajari di Sekolah Dasar dan Menengah di seluruh pulau Madura
menyebabkan Pemerintah Kabupaten memiliki kewajiban yang penuh untuk mendukung
program ini. Kewajiban itu kemudian dilaksanakan oleh Dinas Pendidikan
Pemerintah Kabupaten setempat dengan membentuk tim perancang dan pengembang
kurikulum bahasa daerah. Tim perancang dan pengembang kurikulum bahasa daerah
lokal ini pada akhirnya menerbitkan buku ajar yang dipakai oleh seluruh siswa
SD maupun SMP setempat
2.2.4. Penulisan Bahasa
Madura
Bahasa
Madura sebelumnya menggunakan Carakan dan Pegon dalam penulisan namun pada buku-buku
berbahasa Madura terbitan setelah tahun 1972 sudah dimulai penyesuaikan tulisan
dengan Ejaan Yang disempurnakan (EYD) namun menggunakan huruf diakritik dalam
penulisan yaitu a,â,è,e,i,o,u
pada
dasarnya sama saja dengan bahsa indonesia. bahasa madura juga mempunyai
“carakan lo…” lo di jawa ada “o no co ro ko dst” di madura ada “a na ca ra ka
dst” tapi “a” juga bisa di katakan “ha” berlaku jika kita hendak menulis kata
“ha”. misal “HARIS” jadi carakan “a” difungsikan sebagai “HA”. tapi dalam
artikel ini kan membahas kalimat dalam tulisan biasa bukan carakan madura.
Dalam
bahasa madura ada 2 jenis ejaan yaitu ejaan lama dan ejaan baru. perbedaannya
adalah:
1. ejaan lama :
menggunakan huruf “e” untuk membunyikan vocal “e”
2. jaan baru :
menggunakan huruf “a” untuk membunyikan vokal “e” tapi diatas huruf “a” diberi
tanda petik namun sayang di wordpress ini penulis tdk tahu bagana menuliskan
huruf tersebut. namun jika di word kita bisa mengambilnya di “simbol”
contoh : maduhure (ejaan lama) madhura (ejaan baru) ingat, di atas huruf “a” diberi tanda petik. namun bacaannya huruf “a” diatas berbunyi “e”.
contoh : maduhure (ejaan lama) madhura (ejaan baru) ingat, di atas huruf “a” diberi tanda petik. namun bacaannya huruf “a” diatas berbunyi “e”.
Di bahsa madura ada
pengulangan kata untuk kata-kata tertentu misal :
1.
taretan = saudara. jika kita
mau bilang “saudara-saudara” maka kita bilangnya “tan-taretan“.
2.
Sisa – sisa = rE-karEh
berasal dari kata karEh
3.
Manis – manis = Nes-manEs
berasal dari kata manEs
4.
Cantik
– cantik = din-raddin berasal dari kata raddin
berikut contoh penyusunan kalimat bahasa madura :
1.
Ayah makan nasi = bapak ngakan nasEk (bhs kasar) = rama adhE’Er nasEk
(bhs halus)
2.
Ibu pergi ke pasar = Ebuh entar kapasar (bhs kasar) = Ebuh meyos ka
pasar (bhs halus)
3.
Adik tidur siang = alek tedung abEn/siang (bhs kasar) = alek tedung
abEn/siang (kasar halus sama saja) karena yang di jadikan subjek adalah “adik”
lebih muda dari kita. kecuali yang tidur adalah yang lbh tua dari kita atau
yang kita hormati seperti putra raja/kyai.
2.2.5. Dialek-Dialek
Bahasa Madura
2.2.5.1.
Pengertian Sosiodialektologi

Dialektologi adalah cabang linguistik yang
mempelajari variasi-variasi bahasa dengan memperlakukannya dengan struktur yang
utuh (Kridalaksana, 2001 : 42). Dialektologi juga mempelajari variasi bahasa
dalam semua aspeknya (Keraf, 1984 : 143). Trudgill (1985 : 17) menyatakan bahwa
dialek mengacu pada perbedaan-perbedaan antara macam-macam bahasa yang berbeda
kosa kata, tata bahasa dan juga pengucapannya.
2.2.5.2. Ciri – Ciri Dialek
Ciri-ciri utama dialek ialah perbedaan dalam
kesatuan dan kesatuan dalam perbedaan (Meilet 1967 : 70 yang dikutip oleh
Ayatrohaedi, 1979 :2). Ciri lain yakni: Dialek ialah seperngkat bentuk ujaran
setempat yang berbeda-beda, yang memliki ciri-ciri umum dan masing-masing lebih
mirip sesamanya dibandingkan dengan bentuk ujaran lain dari bahasa yang sama,
dan dialek tidak harus mengambil semua bentuk ujaran dari sebuah bahasa.
2.2.5.3. Ragam Dialek
Ragam-ragam dialek dapat digolongkan menjadi 3
kelompok golongan ( Ayatrohaedi, 1983:13) antara lain :
1.
Dialek 1.
i dalam
kepustakaan dialektologi Roman, dialek ini disebut dalecte 1.yaitu dialek yang
berbeda-beda karena keadaan alam sekitar tempat dialektersebut digunakan
sepanjang perkembangan. Dialek itu dihasilkan karena adanya dua faktor yang
salimg melengkapi, yaitu faktor waktu dan faktor tempat.
2.
Dialek 2.
Dialek ini di dalam kepustakaan dialektologi Roman
di sebut dialecte 2, regiolecte, atau dialecte regional, yaitu bahasa yang
dipergunakan diluar daerah pakainya.
3.
Dialek Sosial.
Dialek sosal atau sosiolacte ialah ragam bahasa
yang dipergunakan oleh kelompok tertentu, yang membedakan dari kelompok
masyarakat lainnya.
2.5.6.
Faktor yang Mempengaruhi Ragam
Bahasa
Beberapa pendapat para ahli bahasa mengenai faktor-faktor peneyebab adanya
ragam bahasa, antara lain dikemukakan oleh Kridalaksana (1970), Nababan (1991),
Suwito (1992), dan Abdul Chaer (1995).
Menurut Kridalaksana faktor-faktor tersebut adalah: waktu, tempat,
sosio-budaya, situasi, dan sarana pengungkapan. Menurut Nababan, faktor-faktor
tersebut meliputi: daerah, kelompok, atau keadaan sosial, situasi dan tingkat
formalitas, serta zaman yang berlainan.

Faktor eksternal yaitu faktor yang
berada di luar sistem bahasa, meliputi: waktu, tempat, sosial-budaya, situasi
dan sarana yang digunakan. Sedangkan faktor internal adalah faktor yang ada di
dalam bahasa itu sendiri, misalnya mengenai variasi fonetis, variasi fonemis,
dan variasi morfolois.
2.5.7.
Variasi Bahasa
Suwito (1983:29), berpendapat bahwa variasi bahasa adalah sejenis ragam
yang pemakainya disesuaikan dengan situasi dan fungsinya, tanpa mengabaikan
kaidah pokok yang berbeda dalam bahasa yang bersangkutan. Berdasarkan
pengertian tersebut, masalah variasi bahasa sangat bergantung pada dua faktor ,
yaitu faktor linguistik dan faktor nonlinguistik.
Hal-hal yang terkait dengan faktor linguistik terwujud dalam norma-norma
internal bahasa, baik sistem bunyi, sistem kata, maupun sistem kalimat. Hal-hal
yang terkait dengan faktor nonlinguistik berupa pemakaian bahasa yang
disesuiaikan dengan situasi dan fungsi bahasa yang bersangkutan.
Nababan (1993:13) menyatakan bahwa bahasa terdiri dari dua aspek pokok
yaitu aspek bentuk dan makna. Akan tetapi walaupun polanya berbeda masih
memiliki kesamaan dengan pola induknya (Soepomo dalam Sowito, 1983:23).

Chaer dan Leonie Agustina (2001: 61-62) mengemukakan bahwa variasi bahasa
dapat diklasifikasikan dari segi penutur,pemakaian, keformalan, dan sarana.
2.2.8.
Bahasa Madura
Bahasa Madura dituturkan oleh suku yang tinggal di pulau Madura dan
beberapa pulau kecil disekitarnya serta beberapa daerah di pesisir timur pulau
Jawa. Selain itu, bahasa Madura juga dituturkan oleh suku Madura di beberapa
daerah lain di luar daerah asal. Terdapat beberapa daerah yang tercatat
merupakan kantong-kantong suku Madura seperti Kalimantan Selatan serta beberapa
pulau kecil lainnya.
SIL (Summer Institute of Linguistics)
dalam Mahsun (2008) menyebutkan bahwa terdapat enam dialek bahasa Madura,
yaitu: Bawean (Boyan), Bangkalan (BAngkalon), Pamekasan (Pamekesan), Sampang,
Sapudi, dan Sumenep. Namun, berdasarkan perhitungan dialektometri, kelima
dialek terakhir termasuk dalam perbedaan subdialek karena persentase perbedaan
berkisar 31—50%.
Berbeda dengan SIL, Soegianto dkk. (1986) menunjukkan bahwa bahasa Madura
di Pulau Madura mempunyai tiga variasi dialek, yaitu dialek Bangkalan, dialek
Pamekasan, dan dialek Sumenep. Ketiga
dialek tersebut memiliki ciri tertentu. Khusus untuk dialek Bangkalan dapat
dikenali dari intonasi yang cepat dan beberapa perbedaan leksikal (lihat Sofyan
2003, Soetoko 1998).

2.2.8.1.
Dialek
– dialek Bahasa Madura
Bahasa
Madura juga mempunyai berbagai dialek tersendiri bergantung kepada wilayah
penuturnya. Di Pulau Madura sendiri pada dasarnya terdapat beberapa dialek
seperti
1.
Dialek
Bangkalan
2.
Dialek
Sampang
3.
Dialek
Pamekasan
4.
Dialek
Sumenep
5.
Dialek
Kangean
Dialek yang dijadikan
acuan baku Bahasa Madura adalah dialek Pamekasan, kerana Pamekasan merupakan
pusat kerajaan dan kebudayaan Madura di masa lalu. Dialek-dialek lainnya
merupakan dialek rural yang telah bercampur seiring dengan mobilisasi yang
terjadi di kalangan masyarakat Madura. Di pulau Jawa, dialek-dialek ini
seringkali bercampur dengan Bahasa Jawa sehingga kerap mereka lebih suka
dipanggil sebagai Pendalungan
daripada sebagai Madura. Pada umumnya masyarakat Bondowoso lebih
menguasai dialek bahasa madura Pamekasan daripada bahasa madura Sumenep.
Contoh
pada kata ganti kamu :
1. kata be'en
umum digunakan di Madura sementara kata be'na dipakai di Sumenep.
2. kata kakeh
untuk kamu lazim dipakai di Bangkalan bahagian timur dan Sampang.
3. Heddeh dan Seddeh
dipakai di daerah Bangkalan selatan(kamal)
4.
"be'eng" dipakai di daerah
Bangkalan kota.

Bagi dialek Kangean,
dialek ini merupakan serpihan dari Bahasa Madura. Perbezaannya yang berbeda
menyebabkan dialek Kangean dianggap bukan sebahagian Bahasa Madura, khususnya
oleh masyarakat Madura daratan.
Contoh
:
1.
akoh : saya (sengko' dalam bahasa Madura daratan)
2.
kaoh : kamu (be'en atau be'na dalam bahasa Madura
daratan)
3.
berrA' : berat (berre' dengan e pet pet dalam bahasa Madura
daratan)
4.
morrAh : murah (mode dalam bahasa Madura daratan)
Faktor-faktor
yang mempengaruhi ragam bahasa, yaitu faktor eksternal dan internal. Faktor
eksternal yaitu faktor yang berada di luar sistem bahasa, meliputi: waktu,
tempat, sosial-budaya, situasi dan sarana yang digunakan. Sedangkan faktor
internal adalah faktor yang ada di dalam bahasa itu sendiri, misalnya mengenai
variasi fonetis, variasi fonemis, dan variasi morfolois.
2.2.8.2.
Perbandingan dengan Bahasa Melayu
1.
Dâpur (baca: Depor) = Dapur
2.
Kanan = Kanan
3.
Bânyâk (baca: benyyak) = Banyak
4.
Maso' (baca: Masok) = Masuk
5.
Soro (baca: Soro) = Suruh
Perbedaan
imbuhan di depan, contohnya:
1. Ngakan = Makan
2. Ngènom = Minum
3. Arangkak = Merangkak
4. Juk-tojuk =Duduk-duduk
5. Asapoan = Menyapu
6.
Acaca = Bicara

Konsonan [j]
biasanya ditukar ke [d͡ʒ], seperti:
1.
Bâjâr (baca: Bejer) = Bayar
2.
Lajân (baca: Lajen) = Layan
3.
Sembhajang (baca: sembejeng) =
Sembahyang
Konsonan [w] di pertengahan pula
ditukar ke konsonan [b], seperti:
1.
Bâbâang (baca: Bebeng)= Bawang
2.
Jâbâ (baca: Jebe) = Jawa
2.2.8.3.
Perbandingan dengan Bahasa Jawa
Perkataan yang sama dengan bahasa Jawa:
Bahasa Jawa = Bahasa Bawean
1. Kadung = Kadung (Bahasa Melayu = Terlanjur)
2. Peteng = Peteng (Bahasa Melayu = Gelap)
Konsonan [w] di pertengahan pula ditukar ke konsonan [b], seperti:
Bahasa Jawa ~ Bahasa Bawean
1.
Lawang = Labang(baca Labeng)
(Bahasa Melayu = Pintu)
Konsonan [j] di pertengahan pula ditukar ke konsonan [d͡ʒ], seperti:
1.
Payu = paju (Bahasa Melayu =
Laku)
2.2.8.4.
Perbandingan dengan Bahasa Banjar
Perkataan yang
sama dengan bahasa Banjar:

1. Mukena = Mukena (Bahasa Melayu = Telekung Sembahyang)
2. Bibini' = Bibini (Bahasa Melayu = Perempuan)
2.2.8.5.
Perbandingan dengan Bahasa Tagalog
Bahasa Bawean = Bahasa Tagalog
1.
Apoy = Apoy (Bahasa Melayu = Api)
2.
Èlong = Elong; penggunaan [e]
(Bahasa Melayu = Hidung)
3.
Matay = Mamatay (Bahasa Melayu =
Mati)
Contoh:
1.
Eson terro ka be'na = saya sayang kamu (di Bawean ada juga yang menyebutnya Ehon, Eson
tidak dikenal di bahasa Madura)
2.
Bhuk, badhâ berrus? = Buk, ada sikat? (berrus dari kata brush)
3.
Ekalakaken = ambilkan (di Madura ekala'aghi, ada pengaruh Jawa kuno di akhiran
-aken).
4.
Silling = langit-langit (dari kata ceiling)
2.3. Budaya Masyarakat Madura
Kebudayaan
adalah seperangkat peraturan atau norma yang dimiliki bersama oleh para anggota
masyarakat, yang kalau dilaksanakan oleh para anggotanya, melahirkan perilaku
yang oleh para anggotanya dipandang layak dan dapat diterima.
Kebudayaan
terdiri dari nilai-nilai, kepercayaan, dan persepsi abstrak tentang jagat raya
yang berada di balik perilaku manusia, dan yang tercermin dalam perilaku. Semua
itu adalah milik bersama para anggota masyrakat, dan apabila orang berbuat
sesuai dengan itu, maka perilaku mereka dianggap dapat diterima di dalam
masyarakat.

Meskipun
Madura masih berada di wilayah Indonesia tapi karena faktor letak membuat
kebudayaan-kebudayaan di Indonesia berbeda-beda, dari satu daerah-ke daerah
lain pasti memiliki perbedaan kebudayaan. Untuk kebudayaan
masyarakat Madura sendiri sangat beragam.
2.3.1. Sejarah Madura
Perjalanan
Arya Wiraraja sebagai adipati pertama di madura pada abad 13. dalam kitab
negara kertagama terutama pada tambang 15, mengatakan bahwa Pulau Madura semula
bersatu dengan tanah Jawa, ini menunjukkan bahwa pada tahun 1365an orang Madura
dan orang Jawa merupakan bagian dari komonitas budaya yang sama.
Sekitar tahun 900-1500, pulau ini berada dibawah
pengaruh kekuasaan kerajaan Hindu Jawa Timur seperti Kediri, Singhasari dan
Majapahit. Diantara tahun 1500 dan 1624, para penguasa Madura pada batas
tertentu bergantung pada kerajaan - kerajaan Islam di pantai utara Jawa seperti
Demak, Gresik dan Surabaya.
Pada Tahun 1624, Madura ditaklukkan oleh Mataram.
sesudah itu, pada paruh pertama abad kedelapan belas Madura berada di bawah
kekuasaan kolonial Belanda (mulai 1882), mula - mula oleh VOC, kemudian oleh
pemerintah Hindia - Belanda. Pada saat pembagian provinsi pada tahun 1920-an,
Madura menjadi bagian dari provinsi Jawa Timur.
Sejarah mencatat Aria Wiraraja adalah Adipati Pertama
di Madura, diangkat oleh Raja Kartanegara dari singosari, tanggal 31 Oktober
1269. Pemerintahannya berpusat di Batuputih Sumenep, merupakan keraton pertama
di Madura.

2.3.2. Ragam Budaya Madura
2.3.2.1.
Karapan Sapi
karapan sapi
adalah satu istilah dalam bahasa Madura yang digunakan untuk menamakan suatu
perlombaan pacuan sapi. Ada dua versi mengenai asal usul nama kerapan. Versi
pertama mengatakan bahwa istilah “kerapan” berasal dari kata “kerap” atau
“kirap” yang artinya “berangkat dan dilepas secara bersama-sama atau
berbondong-bondong”. Sedangkan, versi yang lain menyebutkan bahwa kata
“kerapan” berasal dari bahasa Arab “kirabah” yang berarti “persahabatan”.
Namun lepas
dari kedua versi itu, dalam pengertiannya yang umum saat ini, kerapan adalah
suatu atraksi lomba pacuan khusus bagi binatang sapi. Sebagai catatan, di
daerah Madura khususnya di Pulau Kangean terdapat lomba pacuan serupa yang
menggunakan kerbau. Pacuan kerbau ini dinamakan mamajir dan bukan kerapan kerbau.
Asal usul kerapan sapi juga ada beberapa versi.
Versi
pertama mengatakan bahwa kerapan sapi telah ada sejak abad ke-14. Waktu itu
kerapan sapi digunakan untuk menyebarkan agama Islam oleh seorang kyai yang
bernama Pratanu. Versi yang lain lagi mengatakan bahwa kerapan sapi diciptakan
oleh Adi Poday, yaitu anak Panembahan Wlingi yang berkuasa di daerah Sapudi
pada abad ke-14. Adi Poday yang lama mengembara di Madura membawa pengalamannya
di bidang pertanian ke Pulau Sapudi, sehingga pertanian di pulau itu menjadi
maju.

Kerapan Sapi adalah sebagai salah satu wujud
hasil budaya yang berupa kesenian yang mana kerapan sapi merupakan salah
satu jenis atraksi yang diangkat dari budaya Madura dan bentuk dari budaya
tersebut adalah memeragakan lomba pacuan sapi yang memang khusus untuk
dilombakan. Di daerah Madura rata-rata masyarakatnya memang cenderung
mengetahui keberadaan kebudayaan tersebut.
Masyarakat Madura mengenal kerapan sapi sebagai sebuah
ritual kebudayaan, artinya kebudayaan ini dilaksanakan pada moment tertentu,
seperti : acara selamatan Desa, acara selamatan untuk memperingati momen-momen
tertentu, ataupun Acara tahunan rutinitas Desa maupun rutinitas sepulau Madura
yang memang dilakukan secara berkesinambungan sampai saat ini.
Budaya Karapan Sapi Madura adalah sebuah kebanggaan
bagi masyarakat Madura. Kebudayaan ini menjadi ciri khas daerah Madura yang
terkenal sampai saat ini. Banyak masyarakat dari daerah lain tertarik dengan
budaya ini. Keunikan budaya dari kerapan sapi yaitu pada saat pacuan
berlangsung.

Di Madura, sapi merupakan simbol penting dalam
kehidupan. Sapi bagi masyarakat Madura memiliki banyak fungsi dan
menguntungkan sehingga dapat menunjang kehidupannya.
Kerapan Sapi yang banyak di minati masyarakat
khususnya di Pulau Madura sampai saat ini tidak hanya di Madura saja, tetapi
peminat dari kebudayaan ini sudah tersebar di beberapa wilayah Indonesia
khususnya di wilayah Jawa Timur. Kebudayaan ini berkembang sangat pesat di
daerah Jawa Timur.
karapan sapi adalah satu istilah
dalam bahasa Madura yang digunakan untuk menamakan suatu perlombaan pacuan
sapi. Kerapan adalah suatu atraksi lomba pacuan khusus bagi binatang sapi.
Dewasa ini pelaksanaan kerapan sapi
berkaitan dengan masalah bisnis dan judi. Dalam prakteknya ada pihak-pihak yang
sengaja ingin mendapatkan keuntungan sebanyak banyaknya.
Para pemilik sapi kerapan sebenarnya
juga mencari keuntungan dan melakukan berbagai upaya agar menang , ada yang
minta pertolongan kyai tradisional atau pemimpin keagamaan dan ada juga yang
mencari nasehat peramal atau dukun untuk menjaga agar kondisi sapi mereka
sebaik mungkin. Semua ini dilakukan dengan harapan menang.
Lomba lari sapi untuk kerapan di
Madura merupakan hiburan yang menyenangkan. Kadang-kadang ada yang dilengkapi
dengan ditampilkannya saronen.
Oleh karena
itu dalam pembahasan kali ini akan dibahas secara rinci agar kita dapat
mengetahui tentang karapan sapi.
Jenis Kerapan Sapi

1. Kerrap Keni (Karapan
Kecil)
Kerrap Keni atau yang dikenal sebagai
Karapan Kecil adalah salah satu jenis perlombaan Karapan Sapi dengan level
Kecamatan saja. Jarak tempuh dari perlombaan Kerrap Keni sekitar 110 meter.
Pemenang dalam perlombaan Kerrap Keni biasanya mendapatkan kesempatan untuk
mengikuti Karapan Sapi dengan level yang lebih tinggi.
2.
Kerrap Rajah (Karapan Besar)
Kerrap Rajah termasuk salah satu jenis
perlombaan Karapan Sapi yang memiliki level lebih tinggi di atas Kerrap Keni.
Kerrap Rajah adalah perlombaan Karapan Sapi pada tingkat Kabupaten saja. Biasanya
para peserta lomba berasal dari para juara Kerrap Keni. Jarak tempuh dari
perlombaan ini lebih jauh 10 meter dibanding Kerrap Keni, yaitu 120 meter.
3. Kerrap Karesidenan
(Gubeng)
Kerrap Karesidenan adalah Karapan Sapi
dengan tingkat Karesidenan. Perlombaan ini diikuti oleh para juara dari 4
kabupaten yang terdapat di Madura. Lokasinya di Bakorwil Madura, tepatnya di
Kabupaten Pamekasan. Perlombaan tersebut biasanya dilaksanakan pada hari
Minggu. Hari Minggu yang dipilih merupakan hari dimana acara puncak berlangsung
untuk mengakhiri musim karapan.
4. Kerrap Onjangan (Karapan
Undangan)
Kerrap Onjangan atau Karapan Undangan
adalah Karapan Sapi yang pesertanya berasal dari undangan kabupaten
penyelenggara. Karapan ini diadakan dalam rangka memperingati hari besar
tertentu maupun syukuran.
5.
Kerrap Jar-ajaran (Karapan Latihan)

Kerrap Jar-ajaran atau dikenal sebagai
Kerapan Latihan adalah Karapan Sapi yang dilakukan untuk melatih sapi-sapi
sebelum turun ke perlombaan. Dalam Karapan Latihan ini, sapi dilatih dan dipersiapkan
agar bisa bertanding dengan baik di lapangan.
2.3.2.2.
Mamaca
Mamaca adalah seni vokal Madura yang ada persamaannya dengan seni mocopat
di Jawa. Mamaca berarti membaca kitab dengan cara
dinyanyikan. Tembang mocopat Madura pada awal keberadaannya
berasal dari tembang mocopat Jawa Kuno.
Mamaca dilakukan oleh
beberapa orang laki-laki, dan mereka duduk bersila di hamparan tikar mengelilingi
kitab yang dijadikan sumber bacaan. Kitab ini biasanya diletakkan di atas
sebuah bantal dan diasapi dengan dupa atau kemenyan lebih dulu sebelum
dipergunakan.
Kitab yang beralaskan bantal di bawahnya, akan selalu
berpindah-pindah atau bergeser dari tangan ke tangan, ke kiri atau ke kanan
setiap se-seorang selesai gilirannya menembang. Kitab ini diteruskan kepada
seseorang yang mendapat giliran berikutnya. Pada umumnya lagu yang dibawakan
oleh masing-masing pelaku berkisar dua atau lima bait tembang.

Ciri khas yang menonjol dalam seni mamaca
adalah membaca atau melagukan tembangnya dengan diembat-embat berkepanjangan,
seakan-akan tidak ada putus-putusnya antara bagian kalimat satu dengan lainnya.
Seni mamaca biasanya diiringi dengan bunyi instrumen musik seruling,
gambang, gender, dan instrumen gamelan lainnya.
Bentuk-bentuk tembang yang dilagukan dalam seni mamaca
adalah tembang-tembang mocopat yang berjumlah sembilan lagu: dandanggula,
asmarandana, maskumambang, sinom, kinanti, gambuh, pocung, pangkur dan durma.
Akan tetapi di Madura yang populer digunakan adalah dandanggula,
asmarandana, sinom, dan kinanti.
Adapun kitab-kitab yang dipergunakan sebagai sumber
bacaan bermacam-macam, antara lain adalah, Layang Yusuf, Nurbuat, Layang
Candraningrat, dan cerita-cerita yang berpijak pada Mahabarata
yang ditulis dalam bentuk puisi dan bertuliskan huruf Arab Pegon, dan
ada juga yang bertuliskan huruf Jawa dan berbahasa Jawa Kawi.

Adapun cerita yang dibawakan disesuaikan dengan situasi
serta kondisi pelaksanaan hajatan. Pemilihan cerita ini dapat berangkat dari
gagasan penyelenggara hajat atau dapat juga atas saran para orangtua.
2.3.2.3.
Mamapar Gigi
Tradisi
Mamapar gigi ini bisa ditemui di seluruh pedesaan yang ada di Sumenep, tepatnya
di Desa Panagan, Kecamatan Gapura, sekitar 10 kilometer arah Tenggara Kota
Sumenep. Tradisi ini sangat erat kaitannya dengan daur hidup (lingkaran hidup)
individu, khususnya bagi seorang perempuan yang ingin melangsungkan pernikahan.
“Mapar” dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai “melakukan suatu
pekerjaan untuk merapikan dan meluruskan”. Jadi, mapar gigi dapat diartikan
sebagai suatu usaha untuk merapikan dan meluruskan bentuk susunan gigi dengan
seperangkat alat khusus.
2.3.2.3.1
Waktu dan Tempat Upacara
Upacara mapar gigi biasanya dilaksanakan ketika seorang gadis akan
melangsungkan Pernikahan. Tujuannya, agar bentuk gigi sang gadis terlihat lebih
rapi dan menarik. Selain itu, mapar gigi juga mengandung makna membuang segala
macam sangkal pada diri sang gadis sebelum memasuki kehidupan yang baru.
Adapun tempat pelaksanaan upacaranya bergantung dari tahapan-tahapan yang
harus dilalui oleh si gadis. ada beberapa tahapan Untuk tahap mapar gigi,
antara lain pembacaan kidungan atau mocopat, dan pencukuran rambut halus di
dahi dan tengkuk diadakan di rumah sang gadis. Sementara untuk prosesi
pembuangan rambut halus sebagai simbol pembuangan sangkal berlangsung di
perempatan jalan dalam sebuah kirab atau arak-arakan.
Seluruh tahapan upacara tersebut dipimpin oleh ahli papar gigi. Dalam
melaksanakan tugasnya Sang ahli mapar akan dibantu oleh ahli mocopat beserta
tukang tegesnya yang akan membacakan kidungan atau mocopat ketika prosesi mapar
gigi dilakukan. Sedangkan pihak lain yang juga terlibat dalam penyelenggaraan
upacara adalah:
1.
keluarga gadis yang akan dimapar
giginya,
2.
calon suami si gadis beserta
kerabatnya,
3.
beberapa orang gadis yang
nantinya akan bertugas mengitari sang gadis saat dupa dibakar, dan
4.
para seniman soren, hadrah, dll
yang nantinya akan mengiringi calon pengantin saat melakukan kirab.
2.3.2.3.2
Peralatan Upacara

Peralatan dan perlengkapan yang disediakan oleh pihak
keluarga calon mempelai perempuan adalah: beraneka macam jajanan pasar yang
nantinya akan digunakan sebagai suguhan bagi para tamu dan rampatan (sesajen),
kelapa gading, telur ayam, air kumkuman seribu kembang, nasi kuning, dan dhamar
kambang (lampu minyak kelapa). Terakhir, peralatan yang disediakan oleh ahli
papar gigi berupa: batu asah, pisau yang menyerupai kikir, dan batu pengganjal.
2.3.2.3.3
Jalannya Upacara
Apabila waktu pelaksanaan upacara mapar gigi telah
disepakati, maka pihak calon mempelai pria akan menuju ke rumah calon mempelai
wanita dalam sebuah arak-arakan sambil membawa judang, tenong, dan lain
sebagainya. Di sepanjang perjalanan menuju ke rumah calon mempelai wanita
tersebut, biasanya mereka diiringi oleh lantunan kesenian tradisional dari para
seniman Saronen
atau Hadrah.

Setelah rombongan calon mempelai pria datang prosesi
mapar gigi pun segera dimulai. Dengan menggunakan peralatan berupa batu asah,
pisau berbentuk kikir, dan batu pengganjal sang ahli mapar mulai meratakan gigi
sang gadis. Sisa-sisa gigi hasil mapar lalu dikumpulkan dalam sebuah kain untuk
dibuang di sebuah persimpangan jalan.
Selama proses perataan gigi tersebut berlangsung, tukang
mocopat mulai membacakan kidung-kidung dari sebuah kitab kuno berhuruf Jawa yang berisikan
hikayat Nabi Yusuf. Untuk lebih memperjelas makna yang terkandung dalam kitab
tersebut tukang mocopat dibantu oleh tukang teges yang akan menerjemahkan
kidung ke dalam bahasa Madura. Seiring dengan pembacaan kidungan, dilakukan
juga pembakaran dupa di dekat sang gadis sambil dikitari oleh beberapa orang
gadis lainnya.
Selesai mapar gigi, dilanjutkan dengan prosesi paras
yaitu pembersihan atau pencukuran rambut halus disekitar dahi dan tengkuk sang
gadis. Selanjutnya, potongan-potongan rambut halus itu dikumpulkan untuk dibawa
bersama sisa-sisa potongan gigi dalam sebuah arak-arakan menuju ke perempatan
jalan (tapak dadang) yang letaknya tidak jauh dari rumah sang gadis.
Arak-arakan membuang rambut halus ini tetap dipimpin ahli mapar gigi dan
diikuti oleh tukang mocopat, tukang teges, kerabat calon mempelai wanita,
kerabat calon mempelai pria, para tetangga terdekat, dan diiringi lantunan
musik dari para seniman soren atau hadrah.
Sesampainya di persimpangan jalan, ahli mapar gigi mulai
membaca doa-doa lalu membuang rambut halus dan sisa potongan gigi sebagai
simbol pembuangan segala macam sangkal pada diri sang gadis agar kehidupan baru
bersama suaminya nanti selamat hingga akhir hayat. Prosesi pembuangan rambut
dan sisa gigi ini merupakan akhir dari serentetan rangkaian dalam upacara mapar
gigi.
2.3.2.4
Tandha'
Selain tandha, bisa dikatakan tak ada kesenian
tradisional lain di Madura di mana perempuan menjadi unsur dominan. Tayub atau
tandha satu-satunya seni tari di mana perempuan menjadi penentu dan pencirinya
dari awal hingga akhir. Bahkan, penyebutan tandha untuk nama kesenian
mengindikasikan hal ini. Istilah tandha lebih merujuk pada penari perempuan.
Tapi karena ia menjadi unsur terpenting, kesenian itu sendiri pada akhirnya
sering disebut dengan tandha.

Seni tayub sendiri adalah genre seni tari yang
mengutamakan penari perempuan dan laki-laki sebagai fragmen pertemuan dua jenis
kelamin. Paralel dengan konsep harmonisasi seni pertunjukan tayub dengan
meletakkan perempuan tandha dan penari laki-laki dalam satu ruang.
Masyarakat Madura bisa jadi sangat mudah melihat posisi
penari tandha dalam dimensi seksual. Pertunjukan tandha sering diasosiasikan
sebagai kesenian yang dekat dengan prostitusi terselubung dan perilaku amoral.
Konon, keberadaan tandha dalam pentas sengaja diundang untuk meramaikan
hajatan. Konsep sosial ini dipahami sebagai atolong oleh warga Madura. Saat ini
tandha lebih menyerupai pekerjaan profesional, orang Madura mengistilahkannya alako'.

Kekakuan patriarki masyarakat Madura dalam memandang
perempuan sebagai milik laki-laki tercermin pada cara penyelesaian konflik
dengan jalan kekerasan, carok, terutama konflik yang berdimensi seksual
(perselingkuhan), di samping permasalahan tanah dan ternak.
2.3.2.4.1
Relasi Laki-laki dan Perempuan
Pada puncak titik kekakuan patriarki itu, tandha muncul
sebagai perempuan seni, menciptakan kelonggaran relasi gender dan
menjungkirbalikkan kekuasaan laki-laki. Awalnya seni pertunjukan tayub dengan
tandha sebagai pemain perempuannya, menjadi sekadar seni hiburan rakyat biasa.
Tetapi ketika peran perempuan tandha bergeser dari panggung ke ruang keluarga,
laki-laki (suami) tampaknya, bisa jadi, tak lagi disebut kepala keluarga.

Suka atau tidak, suami harus mengakui dia tak sepenuhnya
bisa meminta istrinya berhenti menjadi tandha. Juga menggenggam norma lama
suami mengatur istri dan istri wajib menaati suami. Alasannya, persis berada
pada titik ekonomi keluarga yang saat ini berada di genggaman istri.
Pengakuan suami tandha asal Saronggi ini menjelaskan
fenomena terjungkirnya kuasa laki-laki. "Saya pernah cemburu, karena istri
saya ada di panggung dan banyak orang. Kalau saya mulai cemburu, akan cepat
saya buang. Kalau di atas panggung, orang kan tak berani macam-macam. Sempat
terpikir meminta istri berhenti sebagai tandha, ternyata saya harus
memikirkannya lagi karena penghasilannya memang besar".
Seiring pembalikan nilai, norma, dan kepekatan patriarki
Madura, pada level kelas menengah, profesi tandha masih diragukan bisa memenuhi
standar moral yang ada. Perempuan dalam posisi sosial masih diharap sebagai
perempuan ideal, tetap tidak lepas dari kodrat, bertanggungjawab pada keluarga
dan masyarakat. Agaknya profesi tandha bagi sebagian perempuan terdidik, berada
di luar kualifikasi perempuan ideal.

Mungkin jarang diketahui, tahun 1970-an tandha sudah tak
memakai rape' (semacam kemben) dan praktik nyompeng (memberi
uang di dada tandha) praktis hilang. tandha Madura lebih menonjolkan aspek olah
vokal dari pada gerak tari, lebih sering mengenakan kebaya layaknya ibu-ibu
PKK.
Saat ini seni karawitan di Sumenep didominasi kelompok
pengrawit perempuan. Masihkah tandha diverifikasi untuk mendapat tempat di
masyarakat, sementara kontribusi dan peran tandha secara sosial domestik sudah
menjelaskan strategi pembebasan perempuan?
Menjadi penari tandha bukan hal mudah. Meski seni tayub
Madura tak terlalu menonjolkan aspek gerak tari, namun kemampuan ngejhung
(nembang) mutlak harus dikuasai. Suhadiyah, penari tandha Banyuwangi, mengaku
baru menjiwai profesinya sejak lima tahun lalu.

Sejak SD, Suhadiyah gemar berkesenian. Ia pernah ikut
samroh, rebana, dan sewaktu SMP ikut bermain di kelompok dangdut. Butuh waktu
lama memutuskan menjadi tandha. tandha senior yang mendorongnya adalah Mahwani,
perempuan asal Saronggi. Saronggi, basis tandha di Sumenep, Madura. Sebelumnya
basis tandha di Sumenep adalah Dasuk.
Saat ini alasan perempuan memilih profesi tandha tak
lepas karena latar ekonomi cekak, meski pada dasarnya juga seniman. Suhadiyah
mengakui rata-rata saweran yang diterimanya, Rp 1 juta per hari. Kalau ramai
mencapai Rp 3 juta. Itu belum termasuk honor. Pendapatan tertingginya selama
semusim (tiga bulan) tembus Rp 50 juta, pernah mencapai Rp 100 juta.

Suami Suhadiyah selama ini bergabung dengan orkes
dangdut, dan adu burung merpati adalah hobinya. Praktis, Suhadiyah menjadi
penopang utama roda rumah tangga. Rumah dan pendidikan anaknya juga buah
profesi tandha. Kepala rumah tangga menempel pada sosok tandha Suhadiyah. Ia
berwenang menentukan segala kebutuhan rumah tangga, termasuk memberi uang pada
suami. "Kalau suami mendapat penghasilan dari ngorkes, saya suruh dia
simpan untuk kebutuhannya sendiri, biar dia tak selalu minta uang pada
saya", ujarnya.
Dalam lingkungan kerja, Suhadiyah berupaya menjaga
hubungan baik, terutama sesama tandha. Sering terjadi persaingan tak sehat
antartandha. Jika ada teman sendiri yang memiliki hajat, Suhadiyah bersikap
cair dan tak pelit.

2.3.2.5
Tan-Pangantanan
Tradisi Tan-mantanan atau tan-pangantanan merupakan
sebuah permainan yang dilakukan oleh anak-anak di kala senggang.
Permainan yang sangat menyenangkan ini dilakukan setelah panen tiba,
setelah anak-anak selesai membantu panen di sawah. Mereka biasanya berkumpul,
dan secara spontan membentuk kelompok yang terdiri dari kelompok utama
(perempuan) dan kelompok besan (laki-laki). Kedua kelompok tersebut kemudian
berlomba untuk menghias pengantin jagoannya di tempat yang berbeda.
Adapun hiasan yang dipakai oleh sepasang pengantin
anak-anak tersebut sangat sederhana, terdiri dari kain panjang (samper
palekat) yang dililitkan ke tubuh masing-masing pengantin sebatas dada.
Sedangkan tata rias memakai lulur yang dibuat dari beras dan temmo (kunir
& kunyit putih). Lulur tersebut dibalurkan ke seluruh tubuh dan wajah
pengantin, sehingga tampak bagian tubuh yang diluluri berwarna kuning
(koneng ngamennyor).

Setelah siap, kedua belah pihak bersepakat mempertemukan
kedua pengantin di tempat yang telah ditentukan. Setelah kedua pengantin
bertemu lengkap dengan para pengiringnya, baru kedua belah pihak bersepakat
untuk mengarak kedua mempelai. Sepasang pengantin tersebut kemudian di arak
keliling kampung, berkeliling dari kampung satu ke kampung lainnya. Arak-arakan
tersebut mampu menyedot perhatian masyarakat yang dilewati, dan terkadang
iringan pengantin semakin panjang karena diikuti penonton lainnya, terutama
anak-anak. Sambil berjalan para pengiring melantumkan syair, Dhe’ Nong Dhe’
Ne’ Nang.
Dhe’
Nong Dhe’ Ne’ Nang

Nanganang nganang nong dhe’
Nong dhe’ ne’ nang jaga jaggur
La sayomla haeto lillah
Ya amrasol kalimas topa’
Haena haedhang haena dhangkong
Pangantanna din ba’aju din tamenggung
Ayola’ yole nengkong abli pole ngantol
Koddu’ pace pacenan, langsep buko lon alon
Pangantan ka’imma pangantan
Mantan loji pamaso’a ka karaton
Bu’ saeng lema’, bu’ saeng lema’
Aeng tase’ bang kambangan
Dhu panarema, dhu panarema
Balanjana saare korang
Bidaddari le’ bidaddar kong
Nase’ obi le’ kowa lurking
Ban-gibannna le’ nase’ jagung
Pangerengga le’ pate’ buttong
Ya, hadirin tore so’onnagi
Paneka pangantan sopaja kengeng salamet
Ya salam, ya salam
Kitab suci dah lama-lamanya
Kini pengantin lah tiba lah tiba
Kepada kawan-kawanku semua
Mudah-mudahan berjumpa lagi
Tan-taretan sadajana e dalem somana
Di sana e ka’dinto Karangduwek nyamaepon
Nyara taretan abadi kacintaan abadi kanesseran
Olle tetep Islam ban Iman
Jam yuju jam delapan, ana’ serdadu mekol senapan (dar)
Yam berana’ etekla ayam pengantin baru sudah berjalan
Tette ajam bindhara, pangantan ka’ imma pangantan
Pangantanna din ba’aju din tamongkong
Jas Turki pakaian celana puti
Aan’ ayam berani mati, jas turki sudah mati
La bu’na mela, ajam pote
Cocco’ sengkang e soro pajikaran

Apabila ditelusuri, maka dapatlah di tarik sebuah
rentetan sejarah awal terbentuknya tradisi ini (tan-pangantanan) dapat
diuraikan dalam kalimat, “Koddu’ pace pacenan, langsep buko lon alon”. Kata
koddu’, yang condong pada jaman pemerintahan Pangeran Keddu (pangeran
Wetan – 1574 M), yaitu pada jaman Ratu Tirtonegoro (tumenggung Pacinan, anak
tiri Ratu Tirtonegoro) sebagai di sebut dalam kata, “bukong”, artinya
kakak tua, yaitu perlambang burung yang menjelaskan bahwa Tumenggung Pacinan
adalah kakak Panembahan Sumolo (pendiri masjid Jamik dan keraton Sumenep).
2.3.2.6
Ojhung
Seni bertarung menggunakan tongkat diduga merupakan seni
senjata tertua yang digunakan manusia. Hal ini masuk akal, mengingat
ketersediaan tongkat yang universal di seluruh kebudayaan dunia. Selain itu,
tongkat kayu juga umum digunakan sebagai medium pengganti (simulator) latihan
senjata tajam. Salah satu seni pertarungan tongkat yang jarang terekspos adalah
seni tongkat yang berasal dari Nusantara.

Sumenep
merupakan kabupaten paling timur di pulau Madura dan terkenal sebagai salah
satu daerah tujuan wisata di propinsi Jawa Timur. Salah satu objek wisata yang
ada di kabupaten Sumenep bera da di kecamatan Batuputih (Batopote). Dari sisi
geografis, kecamatan Batuputih terletak di dataran tinggi.
Dari
pusat kota Sumenep berjarak ±20 km ke arah utara, Dilihat dari kondisi struktur
tanah dan bentang alamnya yang berupa pegunungan, pastinya hal yang tampak
adalah kekeringan atau kekurangan air serta tanah tadah hujan, Meskipun
kenyataan ini menjadi suatu yang tak bisa dihapuskan dari perjalanan masyarakat
Batuputih menempuh kehidupan.
Namun walaupun demikian, kecamatan Batuputih merupakan
salah satu lokasi terpenting dalam sejarah Sumenep. Tercatat bahwa Adipati Arya
Wiraraja mendirikan pusat pemerintahannya di daerah ini, karena lokasinya yang
tinggi dan dekat pantai sangat strategis untuk mengawasi dan menghadapi
serangan dari musuh-musuhnya. Menilik dari sejarahnya, tidak heran apabila
kecamatan Batuputih merupakan tempat asal dari banyak budaya keprajuritan khas
Madura, salah satunya adalah tradisi “Ojung”, ritual tradisi bertarung
menggunakan tongkat rotan (Bouvier, 2002).

Secara teknis, seni ini dilakukan oleh dua orang pemain
yang ditengahi oleh seorang wasit. Masing-masing pemain memiliki senjata yang
terbuat dari 3 buah rotan sepanjang 110 cm yang dikepang dengan serat nanas
jadi satu dan di ujungnya sengaja dibuat pentolan bergigi. Tongkat ini
disebut lapolo/lopalo.
Pemain juga menggunakan pelindung kepala berbentuk
kerucut yang terbuat dari karung goni yang disebut bukot. Di
dalam bukot dilengkapi dengan kerangka dari sabut
buah kelapa dan di sampingnya dipakai sebilah kayu yang berfungsi
membelokkan pukulan yang mengarah ke wajah. Terkadang, di bagian muka bukot
juga diberi anyaman longgar dari rotan atau tali untuk melindungi muka secara lebih
baik.
Pemain juga membutuhkan banyak sarung. Sebuah sarung
digulung sebagai Odheng di bawah alat pelindung kepala; sarung lain
dipakai untuk membalut sebagian tangan kiri hingga pergelangan yang berfungsi
sebagai tangkes (menangkis); dan satu sarung lagi, Stagen,
untuk dikenakan di pinggang. Tapi, pemain justru bertelanjang kaki dan dada.
Serangan yang diperbolehkan adalah Sabet kearah tubuh bagian atas.
Tidak diperbolehkan serangan Soddhuk atau menusuk.

Permainan ditengahi oleh wasit yang disebut babutto. Permainan
dianggap selesai apabila wasit telah menentukan siapa pemain yang terluka
terlebih dahulu atau pemain yang tongkatnya jatuh lebih dahulu. Pada
pertandingan tertentu, wasit berhak menghentikan pertandingan yang menurutnya
berat sebelah. Meskipun hal itu kadang dilakukan saat kedua pemain masih saling
menyerang. Tidak heran, jika wasit juga mengalami luka-luka saat menengahi
pertandingan dan tidak heran juga jika sebagian pendukung merasa kecewa dengan
keputusan wasit.
Walaupun begitu, tidak ada pemenang maupun pihak yang
kalah dalam tradisi ini. Semua pulang sebagai saudara, tidak boleh ada yang
menyimpan dendam.
Selama pertandingan, musik tradisional yang disebut “Okol” dan kidungan Madura menambah semarak tradisi Ojung tersebut. Musik yang jarang dijumpai di daerah lain ini terdiri dari 3 buah Dung-Dung (akar pohon tangkel/siwalan) yang dilubangi ditengahnya sehingga bunyinya seperti bas, dan kerca serta satu alat musik klenengan sebagai pengatur lagu.
Selama pertandingan, musik tradisional yang disebut “Okol” dan kidungan Madura menambah semarak tradisi Ojung tersebut. Musik yang jarang dijumpai di daerah lain ini terdiri dari 3 buah Dung-Dung (akar pohon tangkel/siwalan) yang dilubangi ditengahnya sehingga bunyinya seperti bas, dan kerca serta satu alat musik klenengan sebagai pengatur lagu.

Dulu, Ojung merupakan bagian penting dari Rokat
(selamatan) orang-orang Batuputih dalam memohon turunnya hujan pada musim
Nembara’ (kemarau). Tradisi ini kini mulai jarang peminatnya dikarenakan
pergeseran nilai budaya pada masyarakat yang menyebabkan permainan ini dianggap
kasar. Juga karena sering kali terjadi carok dan perjudian dalam arena
pertandingan.
Seandainya saja dibuat suatu standarisasi dengan safety
yang lebih baik dan manajemen yang rapi, sebenarnya bukan tidak mungkin tradisi
Ojung ini menjadi primadona kebudayaan dari kecamatan Batuputih
Sumenep.
2.3.2.7
Topeng Dhalang
topeng dikatakan sebagai bentuk kesenian yang paling
tua, karena topeng pada masa lalu dipergunakan oleh penganut animesme dan
Hinduisme ketika mengalami sesuatu yang mengkhawatirkan, seperti ; bencana alam
ataupun penyakit.

Mengingat hubungan Madura dengan kerajaan Majapahit dan
Singosari yang mesra, tak dapat dipungkiri bahwa topeng dalang Madura merupakan
kelanjutan dari teater topeng di kedua kerajaan Jawa Timur tersebut. Namun
dalam perkembangannya, topeng di Madura menempuh jalan sendiri, lebih-lebih
ketika agama Islam mulai masuk ke pulau Madura. Unsur-unsur cerita yang
dipentaskan, banyak menyelipkan penjabaran nilai-nilai spiritual dan
nilai-nilai moral, nilai filosofi yang berlandaskan ajaran Islam. bentuk-bentuk
penggarapan topeng pun mulai dihubungkan dengan hasil modifikasi topeng yang
dirancang pada era para wali, terutama dalam hal kesederhanannya.

Perkawinan antara seorang keluarga kerajaan Mataram
dengan keluarga Madura, yaitu Pangeran Buwono VII (1830-1850) dengan salah satu
putri raja Madura (Bangkalan), semakin mengokohkan jalinan kekeluargaan. Karena
mertuanya senang dengan topeng dalang, Paku Buwono VII memberikan hadiah
seperangkat topeng lengkap dengan busana dan perlengkapannya. Kehadiran topeng
hadiah dari Solo ini sedikit banyak berpengaruh pada seni topeng Madura,
terutama kehalusan ukiran-ukirannya.
Pada abad ke-20, setelah kerajaan-kerajaan mulai hilang
dari bumi Madura, topeng dalang kembali menjadi kesenian rakyat dan mencapai
puncak kesuburannya sampai tahun 1960. hal itu dapat dilihat dari banyaknya
group kesenian, banyaknya dalang dan banyaknya pengrajin topeng di berbagai
pelosok. Memasuki dekade 1960-an, topeng dalang mengalami masa surut. Hal ini
disebabkan banyaknya tokoh-tokoh topeng yang meninggal dunia, sedangkan
tokoh-tokoh muda belum muncul dan menguasai seni topeng dalang.
Pada tahun 1970-an topeng dalang kembali bangkit dan itu
tidak terlepas dari jasa dalang tua Sabidin (dari Sumenep), yang tetap bertahan
dan eksis dalam menggeluti topeng dalang sekaligus mendidik kader-kader muda
yang berasal dari beberapa daerah di wilayah Sumenep. Pengkaderan
diprioritaskan pada penguasaan materi pedalangan maupun mendidik penari-penari
topeng. Kerja keras dalang Sabidin membuahkan hasil, murid-murid hasil
didikannya mampu menguasai dan melestarikan kembali seni topeng dalang.
2.3.2.7.1
Karakteristik
Topeng Madura

Adapun bentuk topeng yang dikembangkan di Madura,
berbeda dengan topeng yang ada di Jawa, Sunda dan Bali. Topeng Madura pada
umumnya lebih kecil bentuknya. Kecuali Semar, hampir semua topeng itu diukir
pada bagian atas kepala dengan berbagai ragam hias. Ragam hias yang paling
populer ialah hiasan bunga melati. Sedangkan untuk tokoh-tokoh penguasa zalim,
digunakan ragam hias badge, yaitu lambang yang dipakai para penguasa kolonial
Belanda. Selain itu topeng Madura ada dua jenis, satu berukuran seluas telapak
tangan, satu lebih besar. Bentuk topeng ini tidak sepenuhnya bisa menutup wajah
penari, terutama dagu, maka gerak dagu dalam setiap pementasan tidak dapat
disembunyikan, dan ini memberikan nilai estetik tersendiri.

Begitu pula konsep karakter tokoh topeng, setelah
menyebar ke berbagai wilayah para dalang memodifikasi sesuai dengan karakter
daerah dimana topeng itu tumbuh dan berkembang. Sehingga tidak mengherankan
kalau konsep karakter tokoh-tokoh wayang Madura dengan konsep karakter topeng
Jawa Tengah agak berbeda. Salah satu contoh adalah, di lingkungan Astina,
Suyudana sang Raja, ternyata oleh orang Madura dicitrakan sebagai raja yang
lemah lembut, dan topeng nya diberi warna hijau sahdu. Di Jawa Tengah dan Solo,
Suyudana adalah raja yang citranya keras dan cenderung kasar.

Topeng dalang Madura yang dikenakan para pemain,
terkesan cukup sederhana, bersahaya dan agak kaku ukirannya, inilah salah satu
hal yang membedakan dengan topeng Yogjakarta, Solo, Bali ataupun daerah Jawa
lainnya. Barangkali karakteristik topeng Madura, diidentikkan dengan pembawaan
dan karakter orang Madura yang terkenal keras, kaku tetapi polos dan jujur.
Adapun dalam setiap pementasan seluruh pemain topeng
Dalang serta para penari didominasi pemain laki-laki. Setiap pementasan
dibutuhkan penari sebanyak 15 sampai 25 orang dalam setiap lakon, yang
dipentaskan semalam suntuk. Adapun aksesoris yang dibutuhkan para pemain
meliputi, ; taropong, sapiturung, ghungseng, kalong (kalung) rambut dan badung
; sedangkan untuk pemeran wanita, aksesoris tambahan berupa, sampur, kalung
ular, gelang dan jamang.
2.3.2.7.2Topeng
Sebagai Media Dakwah

Sebagai media dakwah, kesenian topeng telah menjelajahi
hampir semua wilayah nusantara, dan telah mengalami perubahan. Oleh
sutradara-sutradara yang kreatif dan inovatif, cerita-cerita baru, tokoh-tokoh
baru diciptakan sesuai dengan karakter daerah dimana topeng itu dipentaskan.
Sehingga tidak mengherankan, apabila alur cerita dalam pementasan topeng tidak
murni lagi menjalankan alur cerita yang bersumber dari kisah Ramayana dan
Mahabarata. Melalui tokoh-tokoh yang dimainkan, nilai-nilai keagamaan,
nilai-nilai moral ditanamkan kepada para penganutnya. Hal itu dilakukan dengan
jalan menciptakan bait-bait, gending-gending maupun jalinan kisah (cerita),
yang mengandung nilai-nilai moral, nilai-nilai filosofi Islami.

2.3.2.7.3 Prosesi Pertunjukan
Seperti hal nya Ludruk, salah satu jenis kesenian di
Jawa Timur, yang mengawali setiap pementasannya dengan “ngremo”, topeng Dalang
juga membuka pagelaran dengan penampilan tarian. Dalam setiap pementasan,
biasanya yang ditampilkan adalah jenis tarian sakral.
Setelah tari pembukaan, Dalang membuka dengan pemaparan
prolog/panorama. Kemudian disusul tembang-tembang Suluk, alunan tembang ini
mengantarkan para penonton untuk memasuki inti cerita yang akan dipentaskan.
Suluk dan dialog dalam topeng dalang Madura memakai bahasa Madura halus. Untuk suluk
pembukaan menggunakan bahasa Jawa kuno, hal ini membuktikan bahwa topeng
awalnya berasal dari satu sumber.

Setiap lakon yang dibawakan, selalu sarat dengan gaung
cinta, adegan heroik ataupun beragam petuah bermakna filosofis kehidupan yang
kental. Ditambah dengan gerak tarian, terangkai dalam gerak yang kompleks.
Kadang-kadang gerakan tarinya halus, lemah lembut dan melankonis, lalu berubah
kasar, kaku dan sedikit naif, namun dibawakan dengan penuh emosi yang
ekspresif. Dalam setiap pementasan, penampilan para penari sangat sederhana,
tetapi ekspresif. Sekalipun setiap gerak tari agak naif dan sedikit kaku,
tetapi mengandung nilai spiritual yang tinggi. Dan itu merupakan salah satu
nilai plus, karena nilai-nilai yang terkandung dalam setiap gerakan masih
brilian, bersih dan otentik.

Nilai plus pada topeng Dalang Madura adalah suasana
dengan nuansa magis yang dibangun oleh bunyi gemerincing gongseng.. Seolah-olah
getaran gongseng menyebar ke seluruh arena membentuk suasana yang diperlukan,
baik suasana sedih, gembira ataupun tegang. Apalagi ketika penari
menghentak-hentakkan kaki, sepanjang pertunjukan tak sepi dari suara ghungseng,
apabila disimak memang suara satu dan lainnya memberikan ekspresi tersendiri.
Pada masa lalu, lakon yang dimainkan dalam Topeng Dalang
banyak mengambil kisah Panji atau kisah-kisah seperti Damar Wulan. Namun dalam
perkembangannya, kisah-kisah yang dipentaskan saat ini banyak mengambil cerita
dari epik Ramayana dan Mahabharata, dengan ditambah cerita-cerita carangan yang
tokoh-tokohnya tetap merupakan tokoh-tokoh Ramayana atau Mahabharata.

Sebagai media dakwah, ceritera dalam epik Mahabharata
telah dimodifikasi demikian rupa. Tokoh-tokoh dan alur cerita tetap sama. Namun
isi maupun filosofinya diubah menjadi cerita yang bernuansa dan bernafaskan
nilai-nilai Islam. Hal ini dapat dibuktikan dalam cerita Mustakaweni atau
Hilangnya Jimat Kalimosodo. Jimat Kalimosodo adalah sebuah senjata pusaka yang
berkekuatan istimewa yang dapat digunakan untuk maksud apa saja sesuai dengan
kehendak pemiliknya.
Cerita jimat Kalimosodo adalah asli buatan Demak.
Maksudnya ‘ Azimah = Jimat (sesuatu yang bertuah/sakti). Sada = Syahadat
(Persaksian, bukti diri), jimat Kalimosodo berarti Azimah Kalimat Syahadah,
mempunyai kesaktian luar biasa dan dimiliki oleh keluarga-keluarga yang baik
seperti Pandawa. Sedangkan Pandawa Lima, ada yang mengartikan Rukun Islam yang
lima, atau Lima Waktu Sholat dan lain-lain.
2.3.2.7.4
Teater
Tradisional Masyarakat Pinggiran

Teater Topeng Dalang Madura, satu-satunya teater
tradisional yang mampu menaikkan pamor seni tradisi. Di era tahun 80 sampai
90-an, topeng Dalang Sumenep (Madura) melanglang buana ke belahan benua,
Amerika, Asia dan Eropa. Kota-kota besar dunia yang disinggahi pada waktu itu
adalah, kota London, Amsterdam, Belgia, Perancis, Jepang dan New York.
Penampilan seni tradisional tersebut ternyata mampu memikat, memukau,
meng-hipnotis dan menimbulkan decak kagum para penonton. Begitu hangat sambutan
masyarakat internasional terhadap teater tradisional ini.
Sangatlah disayangkan ! Kekaguman yang pernah dibangun
oleh para Dalang di masa itu, saat ini mulai pudar. Hal itu disebabkan karena
teater Topeng Dalang telah dijauhi oleh para penikmatnya. Kesenian ini lambat
laun mulai berkurang, terutama di kalangan masyarakat kota. Hal ini berdasarkan
anggapan bahwa teater tradisional ini sudah ketinggalan jaman. Saat ini
pementasan topeng Dalang masih sering diundang oleh masyarakat pinggiran, yang
masih peduli dan mencintai teater topeng Dalang.

2.3.2.8
Topeng Gethak
Tari Topeng
Gethak merupakan salah satu tari tradisi kerakyatan yang menjadi bagian dari
seni pertunjukan Ludruk Sandur di wilayah Kabupaten Pamekasan - Pulau Madura -
Propinsi Jawa Timur - Indonesia.
Pada mulanya tari
topeng Gethak tidak dapat dipisahkan dari pertunjukan Ludruk Sandur atau
kesenian Sandur.
Kesenian Sandhur
merupakan jenis kesenian rakyat yang sangat digemari di Pamekasan Madura,
khususnya dikalangan masyarakat pedesaan. Semua pelosok daerah di
Pamekasan mengenal kesenian Sandhur ini menjadikan salah satu jenis hiburan
yang memasyarakat dan spesifik, hal ini dapat dibuktikan dari keberadaan
pertunjukan seni Sandhur pada setiap ada pesta perkawinan, khitanan ataupun
hajatan lainnya.
kesenian Sandhur
menjadi tanggapan sebagai bentuk bukan sekedar hiburan, juga dalam usaha
masyarakat melestarikan tradisi yang
diminati masyarakat setempat.

Tari Topeng Getak
awalnya bernama Tari Klonoan. Tarian ini menggambarkan tokoh Prabu Bolodewo
dalam lakon Topeng Dhalang Madura yang ditiru oleh masyarakat awam. Topeng
Dhalang Madura sendiri yang berkembang di Kabupaten Sumenep pada
awalnya digelar dikalangan kerator, namun pada proses berikutnya Topeng Dalang banyak
ditonton oleh masyarakat secara terbuka. Hal ini dapat dilihat dari sejumlah
kelompok atau perkumpulan Topeng Dalang menyebar disejumlah wilayah seperti
Kecamatan Kalianget, Bantang-bantang, Dasuk, Ambunten dan lainnya.
Dalam penokohan Prabu
Bolodewo, misalnya, dalam Topeng Dhalang bagi masyarakat merupakan tokoh
yang amat sangat dibanggakan. Rasa bangga tersebut diungkapkan melalui ekspresi
gerak yang tersusun menjadi tarian. Kata klonoan berasal dari kata kelana atau
berkelana, yang bermakna Bolodewo berkelana. Tari Klonoan ini juga sebagai
isyarat pembuka sajian Kesenian Sandhur.
Dalam
perjalanannya, Tari Klonoan ini berubah nama menjadi Tari Topeng Getak.
Perubahan nama ini terjadi sejak Tahun 1980, ketika Parso Adiyanto masih
menjadi mahasiswa Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya jurusan
Seni Tari. Pada saat tugas akhir, ia melakukan penelitian kesenian tradisi yang
hidup di wilayahnya,.

Tari Topeng Getak
dalam perjalanannya dari masa ke masa tetap menyatu beriringan dalam satu
sajian Kesenian Sandhur, bahkan seolah-olah tidak lekang karena kepanasan dan
tidak lapuk karena kehujanan. Tari Topeng Getak selalu digemari oleh masyarakat
di Kabupaten Pamekasan dan bahkan berkembang ke daerah Sampang, Bangkalan dan
Sumenep.
Pemerintah Daerah
Kabupaten Pamekasan telah menetapkan Tari Topeng Getak sebagai Tari Khas
Unggulan Kabupaten Pamekasan. Upaya pelestarian melalui
jalur pendidikan formal (sekolah) memang efektif dari sisi penari Topeng
Getak, tapi dari sisi musik pengiring masih mengalami krisis seniman. Sekarang
satu demi satu seniman musik pengiring Topeng Getak meninggal dunia. Upaya
pengkaderan seniman alat musik tertentu masih bisa dijalankan, namun alat musik
yang sangat dominan yaitu Sronen (terompet tradisional) sulit mengkondisikan
regenerasinya, untuk itu diperlukan pencarian metoda transformasi permainan
alat tiup sronen.
Tarian Topeng
Gethak mengandung nilai fisolofis perjuangan warga Pamekasan saat berupaya
memperjuangkan kemerdekaan bangsa, Gerakan Tarian Topeng Gethak ini mengandung
makna mengumpulkan masa dimainkan oleh satu hingga tiga orang penari. Asal
muasal sebelumnya nama tarian ini bernama Tari Klonoan kata klonoan ini berasal
dari kata kelana atau berkelana, bermakna Bolodewo berkelana, dan pada akhirnya
Tari Klonoan ini Berubah nama menjadi Tari Topeng Gethak.
2.3.2.9
Busana Tradisi Rakyat Madura

Meskipun
Madura adalah sebuah pulau yang terpisah dari Pulau Jawa, kebudayaan Jawa dalam
arti luas berpengaruh sangat besar dalam berbagai segi kehidupan masyarakat
suku bangsa Madura. Oleh karena kebudayaan Madura termasuk dalam daerah
kebudayaan Jawa, maka jenis dan bentuk busananyapun memiliki beberapa kesamaan
dengan busana dari daerah-daerah lain di Pulau Jawa. Secara umum masyarakat
sukubangsa Madura mengenal perbedaan busana berdasarkan usia, jenis kelamin,
status sosial maupun kegunaannya, baik sebagai busana sehari-hari maupun untuk
keperluan upacara.
Masyarakat
umum mengenal pakaian khas Madura, yaitu hitam serba longgar dengan kaos
bergaris merah putih atau merah hitam, di dalamnya, lengkap dengan tutup kepala
dan kain sarung. Sebenarnya, pakaian yang terdiri dari baju pesa`an dan
celana gomboran ini merupakan pakaian pria untuk rakyat kebanyakan, baik
sebagai busana sehari-hari maupun sebagai busana resmi. Adanya pengaruh cara
berpakaian pelaut dari Eropa, terutama kaos bergaris yang digunakan.

Jaman dahulu, masyarakat mengenal baju pesa`an dalam dua warna, yaitu hitam dan putih. Baju pesa`an biasanya dipakai oleh guru agama atau molang. Pada masa sekarang, baju pesa`an warna hitamlah yang menjadi ciri khas. Warna hitam ini melambangkan keberanian. Sikap gagah dan pantang mundur ini merupakan salah satu etos budaya yang dimiliki masyarakat Madura. Garis-garis tegas merah, putih atau hitam yang terdapat pada kaos yang digunakan pun memperhatikan sikap tegas serta semangat juang yang sangat kuat, dalam menghadapi segala hal.
Bentuk baju
yang serba longgar dan pemakaiannya yang terbuka melambangkan sifat kebebasan
dan keterbukaan orang Madura. Kesederhanaan bentuk baju ini pun menunjukkan
kesederhanaan masyarakatnya, teguh dan keras. Sarung palekat kotak-kotak dengan
warna menyolok dan sabuk katemang, ikat pinggang kulit lebar dengan kantong
penghimpun uang di depannya adalah perlengkapan lainnya. Terompah atau tropa
merupakan alas kaki yang umumnya dipakai.

Pada saat
menghadiri acara resmi, rasughan totop (busana tertutup) umumnya
berwarna hitam digunakan lengkap dengan odheng tongkosan kota, bermotif
modang, dul-cendul, garik atau jingga. Odheng pada
masyarakat Madura memiliki arti simbolis yang cukup kompleks, baik dari ukuran,
motif maupun cara pemakaian. Ukuran odheng tongkosan yang lebih kecil dari
kepala, sehingga membuat si pemakai harus sedikit mendongak ke atas agar odheng
tetap dapat bertengger di atas kepalanya, mengandung makna “betapapun beratnya
beban tugas yang harus dipikul hendaknya diterima dengan lapangan dada”.
Bentuk dan
cara memakai odheng juga menunjukkan derajat kebangsawanan seseorang. Semakin
tegak kelopak odheng tongkosan, semakin tinggi dewajat kebangsawananan.
Semakin miring kelopaknya, maka derajat kebangsawanan semakin rendah. Untuk
orang yang sudah sepuh (tua), sayap atau ujung kain dipilin dan tetap terbeber
bila si pemakai masih relatif muda. Ikatan odheng juga memiliki arti tertentu. Pada
odheng peredhan, pelintiran ujung simpul bagian belakang yang tegak lurus
melambangkan huruf alif, yaitu huruf awal dalam bahasa Arab. Sementara itu,
pada odheng tongkosan kota, simpul mati di bagian belakang dibentuk menyerupai
huruf lam alif, yang merupakan simbol dari kalimat pengakuan akan keesaan Allah.

Keindahan
lekuk tubuh si pemakai akan tampak jelas dengan bentuk kebaya rancongan dengan
kutang pas badan ini. Hal tersebut merupakan salah satu perwujudan nilai budaya
yang hidup di kalangan wanita Madura, yang sangat menghargai keindahan tubuh.
Ramuan jamu-jamu Madura diberikan semenjak seorang gadis cilik hendak berangkat
remaja. Demikian pula berbagai pantangan makanan yang tidak boleh dilanggar,
serta pemakaian penggel. Semuanya dimaksudkan untuk membentuk tubuh yang indah
dan padat.
Pilihan
warna yang kuat dan menyolok pada masyarakat Madura menunjukkan karakter mereka
yang tidak pernah ragu-ragu dalam bertindak, pemberani, serta bersifat terbuka
dan terus terang. Oleh karenaitu mereka tidak mengenal warna-warna lembut.
Termasuk dalam memilih warna pakaian maupun aksesoris lainnya.

Perhiasan yang
dikenakan oleh wanita Madura, mulai dari kepala sampai kaki, juga memiliki daya
tarik yang unik. Sebagaimana senjata bagi laki-laki Madura, perhiasanpun
menjadi pelengkap yang utama bagi busana kaum wanitanya. Hiasan rambut berupa
cucuk sisir dan cucuk dinar, keduanya terbuat dari emas. Bentuknya seperti
busur. Cucuk sisir biasanya terdiri dari untaian mata uang emas atau uang
talenan dan ukonan. Jumlah untaian mata uang ini tergantung kemampuan si
pemakai. Adapun cucuk dinar, terdiri dari beberapa keping mata uang dollar.

Motif hiasan
kalung Madurapun terkenal karena ciri khasnya. Kalung brondong yang berupa
rentangan emas berbentuk biji jagung adalah kalung khas Madura yang biasanya
dikenakan bersama liontin.
Liontin atau
bandul yang digunakan biasanya berbentuk mata uang dollar (dinar) atau bunga
matahari. Selain itu masih ada motif pale obi yang menyerupai batang ubi melintir,
serta motif mon temon berupa untaian emas berbentuk biji mentimun. Berat kalung
itu rata-rata 5-10 gram, namun adapula yang mencapai 100 gram, bahkan lebih.
Tergantung kemampuan si pemakai. Sepasang gelang emas di tangan kanan dan kiri
dengan motif tebu saeres. berbentuk seperti keratan tebu merupakan kelengkapan
lain yang sering dipakai. Sementara sepasang cincin dengan motif yang sama
dengan gelang dikenakan sebagai hiasan jari.
Sebagai
pelengkap kebaya rancongan, digunakan peniti dinar renteng, terbuat dari emas
dan bermotif polos. Semakin banyak jumlah dinarnya, semakin panjang untaiannya
berarti semakin tinggi kemampuan ekonomi pemakainya.
Dari seluruh
jenis perhiasan yang biasa dikenakan wanita Madura, penggel adalah salah satu
yang paling unik. Penggel merupakan hiasan kaki dari emas atau perak yang
dipakai pada pergelangan kaki kiri dan kanan.

Berbeda dengan
yang dikenakan rakyat kebanyakan, wanita bangsawan tidak menonjolkan
kekayaannya melalui bentukbentuk perhiasan yang menyolok dan cenderung berat.
Bentuk perhiasan yang digunakan untuk rambut, telinga, leher, tangan dan kaki
umumnya kecil. Namun, lebih banyak dihiasi intan atau berlian.
Untuk acara
resmi wanita bangsawan Madura mengenakan kebaya panjang dengan kain batik tulis
Jawa atau khas Madura. Alas kakinya berupa selop tutup. Bahan kebaya biasanya
beludru. Warna gelap dan tidak bermotif. Ujung bawah kebaya berbentuk bulat.
Peniti cecek atau pako malang adalah hiasan kebaya berbentuk paku yang
melintang bersusun tiga dan dihubungkan dengan rantai emas.
Rambut
wanita muda digelung malang. Bentuknya seperti angka delapan melintang yang
melambangkan tulisan Allah. di dalamnya diberi potongan daun pandan sebagai
penguat. Untuk wanita yang sudah berumur dan berpangkat, digunakan gelung mager
sereh. Bentuknya sama dengan gelung malang, tetapi semua ukelnya diisi kembang
tanjung dan kembang pandan. Hiasan rambut terdiri dari cucuk emas dengan motif
ular atau bunga matahari, dilengkapi dengan karang melok dan duwek remek, yaitu
hiasan dari bunga-bungaan.

Selain
busana dan perhiasan khas wanita Madura, baik dari kalangan bangsawan maupun
rakyat biasa, tatarias wajah wanita Madura pun cukup unik. Wajah dihiasi dengan
jimpit di bagian kening kanan, kiri atau dahi. Tempat yang dijimpit disebut
leng pelengan. Dahulu leng pelengan dibuat dengan cubitan tangan. Saat ini,
kebanyakan berupan olesan alat kosmetik berupa garis membujur sekitar 1-2 cm
dan berwarna merah. Mata dihiasi dengan celak Arab, sedangkan gigi dihiasi
dengan apa egan, berupa lapisan gigi yang terbuat dari emas atau platina.
2.3.2.10
Tari Gambuh Pamungkas
Tari Gambhuh
berkembang di Kabupaten Sumenep Madura, yaitu reportoar tari yang menggambarkan
peristiwa pertempuran keprajuritan. Para penari menggunakan property dalam
bentuk tameng kecil yang dikenakan pada punggung tangan, pada tameng tersebut
dihias ornamen yang terbuat dari bahan cermin, cermin yang memantulkan sinar
ini sebagai salah satu senjata untuk melindungi diri dari serangan musuh serta
untuk membantu mengelabuhi pandangan musuh. Dalam penyajian tari Gambhuh
diperagakan oleh empat penari laki-laki dalam posisi di empat titik sudut.

Teknik
pernafasan yang digunakan oleh para penari menggunakan pernafasan 1-1 yang
dilakukan dengan cara menghirup udara melalui salah satu sisi lubang hidung,
ditampung di perut kemudian dihembuskan melalui sisi lubang hidung
lainnya. Pengaturan nafas ini diuapayakan bisa mengalir dengan
sendirinya secara alami mengikuti gerak tubuh dengan tanpa paksaan.
Lintasan
penari yang selalu dilakukan kearah kanan merupakan simbol perputaran bumi
serta simbol dari perjalanan darah pada tubuh manusia, sedangkan gerakan kaki
lebih dominan pada perpindahan telapak kaki bergerak merapat lantai, hal
ini dilakukan sebagai transformasi energi bumi kedalam tubuh manusia.
Dalam
pertunjukan Topeng Dalang tari Gambhuh ini disajikan pada bagian awal, yaitu
sebagai pembuka sebelum cerita yang digelar pada Topeng Dalang. Tata busana
terdiri dari celana-sembong-stagen-sabuk timang- kace-polsdeker-klat bahu-ikat
kepala-gungseng-keris-tameng kecil berdiameter kurang lebih 15 centimeter.

Dalam
perkembangannya yaitu sekitra tahun 1990-an Seniman tari Sumenep pernah
menggarap tari Gambhuh dengan menggunakan senjata keris serta diinterpretasikan
sebagai tarian penyambutan tamu di keraton Sumenep. Namun pada priode
selanjutnya yaitu sekitar dekade tahun 2000-an penggarapan tari Gambhuh
mulai berkembang dalam bentuk yang lain yaitu dengan nama Gambhuh Pamungkas
yang lebih mengacu pada upaya mencari model penyajian yang lain dari
sebelumnya.
Data tentang
Tari Gambhuh Pamungkas masih berupa arsip pribadi seniman dan pemerintah daerah
setempat, belum tersebar di lingkungan luar seniman maupun di lembaga
Pendidikan, dan belum tersedia dalam bentuk buku ajar menunjang pembelajaran
tersebut sangat dibutuhkan adanya”
2.3.2.10.1
Sejarah Tari Gambhuh Pamungkas

Tari Keris
ciptaan Arya Wiraraja ini lama sekali tidak diatraksikan. Pada masa kerajaan
Mataram Islam di Jawa yakni pada pemerintahan Raden Mas Rangsang Panembahan
AGUNG Prabu Pandita Cakrakusuma Senapati ing Alaga Khalifatullah (Sultan
Mataram 1613-1645), seorang Raja yang sangat peduli dengan seni dan budaya.
Maka kala itu Sumenep diperintah oleh seorang Adipati kerabat Sultan Agung yang
bernama Pangeran Anggadipa tarian tersebut dihidupkan kembali sekitar tahun 1630,
diberi nama “Kambuh” dalam bahasa Jawa berarti “terulang kembali” dan sampai
detik ini terus diberi nama Kambuh dan lama kelamaan berubah istilah menjadi
tari Gambhuh


PENUTUP
3.1 Simpulan
Budaya adalah suatu warisan dari leluhur atau nenek moyang kita yang tidak
ternilai harganya. Indonesia merupakan negara yang menjunjung tinggi Bhinika
Tunggal Ika, negara yang sangat kaya dan unik dengan beragam suku
bangsanya. Termasuk suku Madura, pulau yang terletak di sebelah timur laut Jawa ini memiliki kebudayaan yang beraneka ragam
dan kearifan lokalnya.
Walaupun pulau Madura dikenal dengan daerah yang kering dan tandus, tetapi
memiliki tingkat populasi yang cukup tinggi. Kerasnya keadaan alam tersebut dapat
diimbangi dengan kerja keras dan solidaritas kerja yang tinggi antar sesama. Masyarakat Madura sangat dipengaruhi oleh kondisi alam yang kurang
menguntungkan secara geografis, sehingga sebagian masyarakat Madura yang masih
dilingkupi oleh faktor-faktor tersebut mempunyai kecenderungan berkarakter
keras. Namun, pada sisi lain banyak sifat-sifat positif yang dipunyai orang
Madura, yaitu: suka bekerja keras, ulet, pemberani, dan mempunyai solidaritas
yang tinggi.
Untuk bahasa,
masyarakat madura menggunakan bahasa madura sebagai bahasa daerahnya. Dalam
bahasa Madura terdapat lima dialek, yaitu: Dialek Bangkalan, Dialek Sampang, Dialek Pamekasan, Dialek Sumenep, dan Dialek Kangean. Kebudayaan
Madura juga sangat beragam, seperti: karapan sapi, mamaca, mamapar gigi,
tandha’, tan-pangantanan, ojhung, topeng dhalang, topeng gethak, dusana tradisi
rakyat Madura, dan gambuh pamungkas. Kebudayaan madura tidak saja sebatas itu,
namun karena terbatasnya
jangkauan litelatur, waktu, dan tenaga, maka penulis hanya menyebutkan sebagian
kecil dari kebudayaan Madura.
DAFTAR PUSTAKA
Mien, A.
2007. Manusia
Madura: Pembawaan, Perilaku, Etos Kerja, Penampilan, dan Pandangan Hidupnya
seperti yang Dicitrakan Peribahasanya. Yogyakarta : Pilar
Media
A.
Latief Wiyata. 2013. Mencari Madura. Jakarta : Bidik-Phronesis
Publishing
Abdul Latief
Wiyata. 2002. Carok, Konflik Kekerasan dan Harga Diri
Orang Madura. Yogyakarta : LKIS
Subarianto, Andang. 2004. Tantangan
Industrialisasi Madura. Malang : Banyumedia publishing
Irwan.Abdullah.
2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta : Pustaka
pelajar
Sama-sama
BalasHapus